Skip to main content

Politik Identitas dan Politik Kebencian

 

https://www.freepik.com/free-vector/political-debate-concept-illustration_11088614.htm#query=politics&position=46&from_view=search&track=sph


Kehidupan manusia secara umumnya selalu dilingkupi dalam ruang dan waktu. Kata-kata tersebut termaktub di dalam setiap buku-buku pengantar ilmu sejarah. Dalam ilmu sosiologi, kita akan mengenal 2 konsep entitas, yaitu masyarakat dan individu. Kedua entitas ini juga menghasilkan dua paradigma yang sangat ekstrim, yaitu paradigma fakta sosial yang memandang bahwa masyarakat lah yang mempunyai kehendak atas berbagai perubahan terhadap individu yang tinggal dalam ruang dan waktu tertentu, sedangkan paradigma yang satu lagi, yaitu paradigma definisi sosial mengatakan bahwa kehidupan sosial bermasayarakat dipengaruhi oleh individu di dalamnya.

Memahami sebuah entitas , yakni individu akan membawa kita ke dalam filsafat eksistensialisme, terutama ketika mendapati perkataan dari seorang filsuf eksistensialisme yaitu Jean Paul Satre menyatakan “Tidak ada manusia yang langsung menjadi manusia, seluruh manusia di muka bumi ini berusaha dan mengalami proses untuk menjadi manusia seutuhnya”. Tafsir dari kata-kata tersebut secara sederhananya adalah semua karakter yang ada pada diri manusia, seperti rajin, malas, dermawan, pembohong, dan lain sebagainya, didapat dari kebiasaan dan usaha yang dilakukan seorang individu.

Pernyataan sebelumnya yang sudah dikemukakan akan menjadi prolog atau pengantar untuk memahami apa itu identitas?. Identitas seorang manusia adalah bukti dari keberadaan dirinya. Ada banyak cara dan sudut pandang dalam memahami identitas, seperti melalui perspektif filsafat, antropologi, biologi,  psikologi, maupun sosiologi. Akan tetapi, dalam pembahasan kali ini, kita akan membahas identitas manusia dalam perspektif politik.

Kodrat dari seorang manusia yang hidup di alam raya ini, pasti nya memiliki identitas. Identitas yang dimaksud akan berhubungan dengan status dan perannya dalam bermasyarakat. Contoh status dan peran seorang manusia adalah kehidupan seorang laki-laki yang berumur 19 tahun dan kuliah di suatu universitas Islam ternama, maka ia akan memiliki status sebagai mahasiswa yang beragama Islam dan memiliki peran sebagai mahasiswa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam perdamaian dunia dan lain sebagainya. Itu adalah suatu contoh dari identitas yang dimiliki oleh seorang manusia yang kebetulan hidup dan berproses di dunia yang fana ini.

Tidak ada yang salah dalam pemahaman kita terhadap identitas seorang manusia. Akan tetapi, entah kenapa di tahun-tahun yang dikenal sebagai “awal tahun politik nasional” di negara Indonesia yang tercinta ini, seringkali digaungkan isu yang di beri nama “Politik Identitas”. Dalam pemahaman umum yang dipahami oleh publik, Politik identitas adalah seseorang yang melakukan aktivitas politik dengan memandang identitasnya. Identitas yang dimaksud adalah seperti agama, ras, suku, dan kelompok kepentingan lainnya.

Membaca pengertian yang singkat seperti yang telah diuraikan di atas, sepertinya tidak ada yang salah dengan politik identitas. Kenapa? karena memang melakukan politik identitas tidak salah. Common Sense atau pemahaman umum  masyarakat Indonesia digiring untuk memahaminya salah.

Argumen paling mendasar adalah setiap manusia yang terlahir di muka bumi pasti lahir dari keluarga yang memiliki latar belakang seperti ras, suku dan agama. Seseorang tidak dapat memilih untuk dilahirkan dari orang tua manapun. Keberadaan dari identitas seperti suku ini akan melahirkan sikap primordialisme. Primordialisme adalah pandangan atau paham yang memengang erat hal hal yang dibawa sejak kecil.

Argumen selanjutnya adalah manusia akan lebih cenderung mempercayai seseorang yang memiliki identitas yang sama dengannnya. Disaat memiliki identitas yang sama, maka seseorang akan mengetahui watak dari seseorang yang akan ia pilih misalnya dalam pemilihan kepala daerah serta, juga dapat lebih menghargai kebudayaan dalam daerah yang akan ia pimpin.

Kiranya, kita perlu merekonstruksi pemahaman yang ada di masyarakat menganai politik identitas ini. Sangatlah wajar apabila misalnya seorang yang beragama Islam memilih pemimpin yang beragama Islam pula dalam suatu pemilihan kepala negara. Sangatlah wajar pula apabila seorang yang berasal dari suku batak akan memilih pemimpin yang berasal dari suku batak juga.

Rekonstruksi yang dapat dilakukan saat ini adalah dengan lebih memahamkan masyarakat mengenai bagaimana kriteria yang ideal ketika memilih seorang calon pemimpin, bukan dengan memecah belah bangsa melalui penggiringan opini untuk meninggalkan identitasnya sebagai manusia yang memiliki status dan peran di masyarakat.

Sebenarnya yang harus diwanti-wanti oleh bangsa Indonesia sendiri adalah Politik Kebencian. Politik kebencian inilah yang akan mengakibatkan rusaknya tatanan kehidupan berkebangsaan yang sudah damai selama ini. Ekspektasinya kita selalu menggaungkan untuk berpolitik secara pancasilais, namun dalam realitanya, pemahaman kita terhadap pancasila saja masih kurang bahkan melenceng dari nilai ideal yang ada.

Masih ingatkah kita dengan slogan “Bhinneka Tunggal Ika” yang sampai sekarang diyakini sebagai slogan penyatu keberagaman di Negara Republik Indonesia. "Berbeda-beda tetapi tetap satu”, dengan berbagai latar belakang seperti ras, suku, dan agama, masyarakat Indonesia dapat bersatu. Dengan mencari titik temu dari setiap perbedaan yang ada, kita dapat menumbuhkan sikap toleransi serta menciptakan peradaban yang maju.

Hampir tidak ada negara yang seheterogen negara Indonesia dengan berbagai ras, suku, dan agama. Jangan sampai isu seperti politik identitas yang diramalkan dapat terjadi di Pemilu 2024 akan memecah belah kesatuan yang sudah dibina dengan baik sejak peristiwa “Sumpah Pemuda”. Harapannya masyarakat Indonesia dapat bersikap lebih dewasa atas segala perubahan yang terjadi. Maka dari itu perubahan sosial adalah suatu fenomena yang tidak dapat dihentikan oleh siapa pun di muka bumi ini. 

Penulis: Mohammad Nayaka Rama Yoga

Comments

Popular posts from this blog

Fenomena Bahasa Campur-Campur ala “Anak Jaksel”

Gambar 1.1. Contoh meme yang membahas karakteristik “anak Jaksel”. Belakangan ini media sosial seperti Twitter dan Instagram ramai menyinggung fenomena tentang bentuk komunikasi yang terkenal kerap menyisipkan bahasa Inggris di dalam percakapan bahasa Indonesia. Cara bicara tersebut dianggap sebagai gaya bahasa anak-anak yang tinggal di Jakarta Selatan atau biasa disebut “a nak Jaksel ” . Kata yang umum dipakai antara lain adalah which is (yang), literally (secara harfiah), at least (minimal), even (bahkan), dan lain-lain. Gaya bahasa tersebut pun makin populer karena banyak selebrit as , pegiat Twitter, pegiat Instagram, dan pegiat Youtube atau video bloger juga menggunakan gaya bahasa tersebut dalam konten-konten yang mereka buat, sehingga makin marak diperbincangkan di kalangan warganet , yakni seseorang yang aktif mengakses internet, khususnya media sosial dalam kesehariannya. Mengutip tulisan tirto.id berjudul Gaya Bahasa ala “ A nak Jaksel” di Kalangan Pejabat

Kecewa UKT Mahal, MABA FISIP Gelar Unjuk Rasa di Depan WR 3

      http://www.lpmreference.com Hari terakhir PBAK (Pengenalan Budaya Akademik Kemahasiswaan) menjadi momentum Mahasiswa baru (Maba) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) untuk unjuk rasa terkait mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Realisasi Program Ma'had tepat di depan Wakil Rektor 3, Minggu 6 Agustus 2023. Aksi yang bertempat di depan Land Mark Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang tersebut di latar belakangi atas ketidakkepuasan MABA FISIP tentang UKT yang begitu mahal, UKT yang tidak tepat sasaran dan Realisasi Program Ma'had yang masih jauh dari kata memuaskan untuk para MABA. Massa Aksi membentangkan spanduk yang bertuliskan "Tolak Komersialisasi Pendidikan, Tolong Kami", "Regulasi Ma'had ugal-ugalan pelan-pelan pak Rektor". Aksi yang berlangsung pada pukul 17.20 WIB, secara kebetulan tepat berada di depan Wakil Rektor 3 yaitu  Achmad Arief Budiman dan disaksikan oleh nya secara langsung. "Mari kita kawal bersama adek-adek

Kampus UIN Walisongo disebut Anti Kritik, Begini Tanggapan Mahasiswa Baru Sosiologi 2023

      http://www.lpmreference.com Kampus UIN Walisongo Semarang disebut anti kritik, hal ini diungkapkan  mahasiswa baru Sosiologi angkatan 2023. Baru-baru ini, pada pelaksanaan hari pertama PBAK terpantau ada spanduk yang terpasang di sekitar gedung FISIP UIN Walisongo Semarang diturunkan oleh pihak kampus. Spanduk tersebut berisi kritik terhadap kebijakan kampus seperti isu UKT, isu ma'had, komersialisasi pendidikan dan sebagainya.  "Bahwa pihak kampus telah membatasi ruang kebebasan ekspresi untuk mahasiswa menyuarakan suaranya." Padahal kampus seharusnya menjadi tempat pendidikan yang merdeka bagi para Mahasiswa, " ungkap Kia Mahasiswa Baru Sosiologi 2023.  Menurut Kia, bahwa adanya sebuah kritik justru akan membuat kampus menjadi lebih baik. Bukan malah dibungkam seperti itu.  Sementara itu, Gibran, Mahasiswa baru Sosiologi 2023 mengatakan bahwa isu ma'had merupakan hal yang paling krusial dan patut kita kawal bersama-sama. Namun tidak pernah  mendapatkan pe