Skip to main content

Fenomena Bahasa Campur-Campur ala “Anak Jaksel”

Gambar 1.1. Contoh meme yang membahas karakteristik “anak Jaksel”.


Belakangan ini media sosial seperti Twitter dan Instagram ramai menyinggung fenomena tentang bentuk komunikasi yang terkenal kerap menyisipkan bahasa Inggris di dalam percakapan bahasa Indonesia. Cara bicara tersebut dianggap sebagai gaya bahasa anak-anak yang tinggal di Jakarta Selatan atau biasa disebut “anak Jaksel. Kata yang umum dipakai antara lain adalah which is (yang), literally (secara harfiah), at least (minimal), even (bahkan), dan lain-lain.
Gaya bahasa tersebut pun makin populer karena banyak selebritas, pegiat Twitter, pegiat Instagram, dan pegiat Youtube atau video bloger juga menggunakan gaya bahasa tersebut dalam konten-konten yang mereka buat, sehingga makin marak diperbincangkan di kalangan warganet, yakni seseorang yang aktif mengakses internet, khususnya media sosial dalam kesehariannya.
Mengutip tulisan tirto.id berjudul Gaya Bahasa ala “Anak Jaksel” di Kalangan Pejabat Negara” (6/9/2018), gaya bahasa yang mencampuradukkan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris juga sudah sering dilakukan oleh para petinggi negara di depan publik, seperti SBY, Sandiaga Uno, dan Sri Mulyani dalam berbagai kesempatan.
JakartaPost juga menangkap fenomena ini dan menuangkannya dalam sebuah artikel berjudul “Mix Lingo ‘Literally’ a thing for South Jakartans” (5/9/2018). Artikel tersebut menjelaskan bahwa fenomena gaya bahasa tersebut terjadi karena anak-anak kota ingin berkomunikasi dalam bahasa global.
Jakarta Selatan sendiri memang menjadi lokasi yang paling ideal sekaligus strategis sebagai tempat permukiman, khususnya bagi kalangan kelas menengah ke atas bila dibandingkan dengan kawasan Jakarta lainnya. Jakarta Selatan merupakan Kota dengan kondisi paling ideal untuk dijadikan permukiman, setidaknya menurut Hummer Hoyt (1939) dalam teori sektoral tentang struktur ruang kota.



Gambar 1.2. Jakarta Selatan berada di posisi nomor  5 menurut teori sektoral, yakni lokasi yang paling cocok sebagai tempat tinggal dalam sebuah kota.


Di kota yang memiliki luas lebih dari 141 km2  itu juga terkenal sebagai tempat tinggal kalangan artis, pejabat, hingga turis mancanegara. Akulturasi budaya bisa sangat mungkin terjadi melalui bahasa sehari-hari. Bisa saja penggunaan bahasa yang menyisipkan bahasa Inggris dalam komunikasi bahasa Indonesia itu karena orang luar negeri yang berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia lupa atau tidak tahu terjemahan bahasa Indonesia dari kata yang ingin ia sampaikan.
Sebagai contoh kecil, ada orang luar negeri yang berkata “Currently saya sedang confuse”. Orang tersebut bicara dengan bahasa Indonesia-Inggris karena ia ingin menyampaikan bahwa saat ini ia sedang bingung, tetapi ia tidak tahu atau lupa terjemahan currently adalah “saat ini” dan confuse adalah “bingung”. Mereka, orang bule mungkin belum lama menetap di Indonesia sehingga masih belum mampu berbahasa Indonesia dengan lancar.
Faktor lingkungan sosial yang sering berbicara dengan gaya bahasa campur-campur juga membuat seseorang terpengaruh untuk mengikuti gaya bahasa tesrebut. Seseorang, khususnya anak muda, mungkin sengaja atau tidak telah menyisipkan bahasa Inggris ke dalam percakapan bahasa Indonesia hanya karena ingin terlihat gaul dan keren di mata temannya.
Kemajuan teknologi yang mendukung penggunaan media sosial secara masif juga menjadi faktor pendorong berkembangnya gaya bahasa ala “anak Jaksel ini. Masyakat makin mudah melihat berbagai konten yang dibuat oleh berbagai figur publik. Gaya bahasa sendiri hanyalah satu dari berbagai gaya hidup figur publik yang kerap ditiru oleh masyarakat. Masyarakat mencoba menerapkan gaya dari orang terkenal yang mereka lihat di media sosial ke dalam kehidupan sehari-hari.
Hal tersebut mereka lakukan karena ingin terlihat mutakhir tentang hal-hal kekinian, atau mungkin hanya ingin menjadikannya sebagai bahan obrolan dengan teman-temannya karena menilai bahwa gaya hidup seseorang atau sekelompok selebritas di media terlihat menarik untuk diperbincangkan.
Pada dasarnya tiap individu pasti memiliki gaya bahasa yang berbeda-beda. Namun, yang perlu diperhatikan dalam berkomunikasi adalah pastikan bahwa apa yang ingin dikatakan atau diungkapkan itu tersampaikan dengan jelas sesuai dengan maksud dan tujuan, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman antara dua belah pihak yang berkomunikasi.

Penulis: Rizky Harnanto
Editor: Afief Zainul Haq

Comments

Popular posts from this blog

Menengok Kembali Sejarah Perkembangan Gawai Dari Abad 19 Sampai Sekarang

Sumber foto: https://www.ngerangkum.com Memasuki abad ke-20 kehidupan manusia mulai disibukkan dengan berbagai macam perubahan yang terjadi secara evolusioner. Perubahan-perubahan tersebut terlihat mencolok pada aspek teknologi. Berbagai pembaruan dan kecanggihan teknologi dihadirkan dalam kehidupan manusia. Perlahan namun pasti, hadirnya teknologi mengubah hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Era saat ini juga bisa disebut dengan era digital, era di mana  aktivitas manusia bergantung pada teknologi. Lalu bagaimana bisa aktivitas manusia bergantung pada teknologi? Bahkan bisa dikatakan manusia tidak bisa lepas dari hal tersebut. Simpel sekali, sebut saja yang paling dekat dengan kehidupan manusia setiap harinya, yaitu gawai. Gawai atau nama lain dari gadget yang kemudian karena kecanggihan dan kepintarannya kita biasa menyebutnya dengan smartphone . Dari waktu ke waktu gawai telah mengalami perkembangan teknologi yang cukup signifikan. Jika dulu gawai hanya sebatas pengguna

Mic UKM-U KSMW Diduga Disabotase Pasca Ungkap Keburukan Birokrasi

LPM REFERENCE— Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas (UKM-U) Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) terjun ke Gedung Serba Guna di Kampus 3 UIN Walisongo Semarang untuk melakukan expo UKM-U (11/08/2024). KSMW menampilkan orasi yang disampaikan oleh Kamil di hadapan mahasiswa baru angkatan 2024. Dalam orasinya, Kamil mengungkapkan fakta-fakta terkait kondisi birokrasi kampus yang dinilainya buruk. "Kalian adalah sapi-sapi perah penghasil UKT," ujar Kamil dalam orasinya. Namun, sesaat setelah pernyataan tersebut, microphone yang digunakan Kamil tiba-tiba mati. Meskipun demikian, Kamil tetap melanjutkan orasinya dan kembali menjelaskan mengenai UKM-U KSMW. Ketika Kamil menyebut istilah "UIN Komersil," microphone yang digunakan kembali mati. Kejadian ini memunculkan kecurigaan di kalangan peserta, terutama karena sebelumnya UKM-U Kopma yang juga menyampaikan presentasi tidak mengalami kendala teknis apapun. Bahkan, ketika KSMW mencoba menggunakan tiga microphone yang b