![]() |
Sumber Gambar: PT. Bonna Indonesia |
Reference — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam siaran persnya menyatakan penolakan terhadap rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Batang yang berada dalam inisiatif Asia Zero Emission Community (AZEC) pada (23/10/2025). WALHI menilai proyek tersebut bukan bagian dari solusi transisi energi yang adil, melainkan bentuk lanjutan dari ketergantungan energi fosil yang berpotensi mengancam ruang hidup masyarakat dan ekosistem pesisir di Jawa Tengah.
Rencana pembangunan PLTGU Batang sebelumnya diumumkan dalam pertemuan tingkat menteri AZEC pada Agustus 2024 oleh konsorsium yang terdiri dari Electric Power Development Co. Ltd. (J-POWER), PT Adaro Power, dan ITOCHU Corporation. Kelompok perusahaan tersebut juga berada di balik pembangunan PLTU Batang melalui PT Bhimasena Power Indonesia. WALHI menilai keterlibatan perusahaan yang sama akan membuka peluang terulangnya pola perusakan lingkungan dan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat sebagaimana terjadi dalam proyek PLTU terdahulu.
“Kehadiran PLTGU Batang menunjukkan bagaimana proyek transisi energi dijadikan kedok untuk melanggengkan investasi energi fosil. Ini adalah bentuk greenwashing yang tidak membawa keadilan bagi rakyat dan lingkungan,” ujar Dwi Sawung, Manajer Kampanye isu Infrastruktur dan Tata Ruang WALHI.
Merujuk pada pengalaman sebelumnya, WALHI menilai masyarakat Batang telah merasakan langsung dampak sosial, ekologis, dan ekonomi akibat proyek PLTU. Sejumlah persoalan yang dicatat WALHI antara lain hilangnya lahan produktif, kerugian nelayan, hingga meningkatnya kerusakan pesisir. WALHI juga menegaskan bahwa dampak serupa berpotensi kembali terjadi apabila proyek PLTGU dilanjutkan.
Berdasarkan catatan WALHI, proyek PLTU sebelumnya telah menyebabkan hilangnya 226 hektar lahan produktif yang sebagian besar berupa sawah dan kebun warga, penurunan hasil tangkapan nelayan di Roban Timur hingga mereka harus melaut 3—4 jam lebih jauh, abrasi pesisir, pencemaran laut akibat aktivitas jetty dan batubara, serta ancaman polusi udara dan air terhadap kesehatan masyarakat. WALHI menilai proyek PLTGU hanya akan menambah beban lingkungan dan sosial bagi masyarakat pesisir.
WALHI juga menyatakan bahwa gas tidak dapat disebut sebagai energi transisi karena tetap merupakan energi fosil dengan emisi karbon dan metana. Selain itu, proyek infrastruktur gas dinilai membawa risiko ekologis dan keselamatan, mulai dari potensi ledakan pipa hingga degradasi wilayah tangkap nelayan akibat operasi Floating Storage and Regasification Unit (FSRU).
“Transisi energi seharusnya berarti meninggalkan ketergantungan pada energi fosil, bukan menggantinya dengan bentuk fosil lain seperti gas. Jika pemerintah terus mempromosikan proyek seperti PLTGU Batang, itu artinya Indonesia sedang melangkah mundur,” tegas Fahmi Bastian, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Tengah.
Selain risiko lingkungan dan sosial, WALHI menilai proyek ini juga berpotensi memperpanjang umur energi fosil melalui narasi palsu mengenai transisi energi yang dianggap sebagai legitimasi pembangunan infrastruktur baru. WALHI juga menyinggung risiko keselamatan yang mengancam masyarakat, mengutip sejumlah insiden proyek infrastruktur gas di wilayah lain di Asia.
Sebagai respons atas rencana tersebut, WALHI menyampaikan tiga tuntutan, yaitu meminta pemerintah pusat dan daerah menghentikan rencana pembangunan PLTGU Batang sekaligus mengevaluasi proyek dalam kerangka AZEC, mendorong lembaga pendanaan internasional tidak ikut membiayai proyek energi fosil, dan mengajak masyarakat sipil memperkuat gerakan penolakan.
“Transisi energi yang adil tidak bisa dibangun di atas perusakan, pengabaian hak, dan ketergantungan pada energi fosil. Batang bukan ladang eksperimen, pesisir bukan ruang buangan, dan transisi bukan dalih perusakan,” tutup Fahmi.
Penulis: Zaenal Arifin
Redaktur: Tegar Budi Hartadi

Komentar
Posting Komentar