![]() |
Penampilannya sontak menarik perhatian banyak orang. Namun bagi Nada, semua itu bukan sekadar gaya. Itu adalah representasi dari isi pikirannya, penelitiannya, dan dirinya sendiri.
“Judul skripsiku Cosplay sebagai Arena Gaya Hidup Baru bagi Anak Muda (Studi pada Komunitas COSMA). Jadi memang sangat berhubungan. Aku sendiri juga bagian dari komunitas itu, Cosplayer Semarang,” ujar Nada.
Nada memulainya dari mencoba-coba pada 2019, dimana kegiatan cosplay menjadi cara bagi Nada untuk mengekspresikan diri. Pandemi covid-19 sempat membuatnya hanya bermain kostum di rumah. Namun, hobi ini terus tumbuh. “aku ga nyangka bakal sejauh ini cosplay di kehidupanku, sampe dibawa ke ruang sidang," katanya sambil tertawa.
Keputusan untuk tampil beda itu tentu tidak diambil dengan mudah. Nada mengaku sempat gugup, terutama karena belum pernah ada yang melakukan hal serupa dalam forum akademik yang formal. “Awalnya aku izin ke dosbing dulu. Beliau minta aku konsultasikan langsung ke forum penguji. Ternyata Bu Elis, penguji yang juga pernah jadi pengujiku di sempro, sangat supportif. Begitu juga Bu Kartika Indah. Aku merasa lega beliau ini mengizinkan,” ceritanya.
Namun walaupun sudah diizinkan sama dosen penguji, tetap saja ada rasa khawatir yg dialamainya. “Deg-degan juga, takut ditolak mendadak sama TU atau dianggap nggak pantas. Soalnya waktu itu aku udah effort full makeup dan properti, ya seperti ikut cosplay lomba dan event,” ujarnya.
Di luar ruang sidangpun muncul respons dari berbagai teman mahasiswa. Nada sempat mengalami catcalling dan komentar miring dari beberapa mahasiswa yang menyaksikan. “Ada yang nyeletuk, ‘ini kuliah, bukan event Jepang.’ Tapi aku cuek. Mungkin mereka iri tapi nggak berani foto,” katanya tertawa ringan.
Namun dukungan yang datang jauh lebih banyak. “Ada dosen dari UIN Makassar minta foto juga, bahkan ada mahasiswa prodi psikologi yang juga ikut foto. Banyak mahasiswa juga bilang salut atas keberanianku tampil beda. Bahkan ada yang nanya aku nanti cosplay apa pas wisuda,” ujarnya.
Nada percaya bahwa ruang akademik tak harus selalu kaku. Nada ingin mendorong mahasiswa lain untuk berani berekspresi selama tetap dalam batas yang wajar.
“Tampil beda itu boleh, asal tahu tempat dan waktu. Jangan sampai tampil heboh tapi presentasinya malah lemah. Latihan dan persiapan itu kunci. Dan jangan lupa berdoa, itu senjata utama,” pesan Nada.
Nada juga mengingatkan, pro dan kontra adalah hal yang biasa. “Selama nggak melanggar aturan atau norma, gas aja. Dunia akademik juga butuh warna dan gebrakan,” tambahnya.
Tanggapan Sekretaris Jurusan Mengenai Cosplay saat Sidang Skripsi
Menanggapi fenomena ini, Sekretaris Jurusan Sosiologi FISIP UIN Walisongo, sekaligus dosen pembimbing skripsi Nada, Pak Endang, menyatakan bahwa tindakan tersebut sudah dikonsultasikan dan disetujui oleh forum penguji. Beliau ini menekankan bahwa langkah mahasiswa itu bisa dimaknai sebagai ekspresi akademik yang kreatif dan kontekstual.
Pak Endang memaparkan bahwa keputusan tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa hal seperti Ekspresi diri, Kreativitas dalam bentuk visual, Kesesuaian dengan tema skripsi dan Upaya menciptakan suasana sidang yang tidak terlalu kaku.
Meski demikian, Pak Endang tetap mengingatkan bahwa segala bentuk ekspresi itu harus tetap menjaga etika formal. “Yang terpenting adalah, pakaian cosplay tersebut tidak mengganggu jalannya sidang dan tidak mengurangi kesan profesionalisme. Apalagi hal ini telah mendapat persetujuan dari seluruh dewan penguji,” jelasnya.
Pak Endang juga menambahkan bahwa ini bukan pertama kalinya mahasiswa menghadirkan elemen tambahan di ruang munaqosah. “Sudah beberapa kali ada mahasiswa membawa properti atau ilustrasi untuk menguatkan paparannya. Jadi hal ini bukan sesuatu yang benar-benar asing bagi kami,” tambahnya.
Penulis: Inayatul Mustafidah
Komentar
Posting Komentar