![]() |
Sumber Merdeka.com |
Setiap 1 Juni, kita rutin memperingati Hari Lahir Pancasila. Pada tahun 2025 ini, peringatan Hari Lahir Pancasila mengusung tema"Memperkokoh Ideologi Pancasila, Menuju Indonesia Raya" Namun di balik kemegahan peringatan ini, kita perlu bertanya apakah Pancasila hari ini benar-benar hidup? Atau justru sedang diperalat oleh kekuasaan?
Peringatan tahun ini terasa berbeda. Bukan karena seremoni makin besar, tapi karena kita tengah menghadapi kenyataan pahit bahwa saat ini Indonesia sedang berduka atas kerisis-krisis yang tengah dialami negara ini. Saat ini, hari ini juga kita sedang menyaksikan transisi pemerintahan yang diisi kembali oleh figur lama, dengan sejarah panjang yang belum selesai terutama dalam soal pelanggaran hak asasi manusia.
Pancasila bukan mantra ajaib. Ia lahir dari pergulatan sejarah, dari keberanian para pendiri bangsa untuk merumuskan nilai-nilai bersama. Tapi sekarang, ia lebih sering dihafal dalam lomba-lomba ketimbang dihidupi dalam kebijakan.
Gus Dur pernah bilang,
“Pancasila itu bukan hanya hafalan lima sila, tapi keberanian untuk membela yang tertindas, ”
Dan justru di situ kita gagal. Kita takut melawan ketidakadilan, apalagi jika ketidakadilan itu berbaju resmi.
Tidak ada yang salah dengan Pancasila. Yang sering salah adalah mereka yang mengaku menjaganya, tapi justru mengkhianatinya dalam praktik. Dalam kampanye politik, Pancasila jadi tameng. Dalam debat publik, ia jadi senjata membungkam. Tapi dalam kehidupan rakyat, ia sering menghilang.
Sebagai mahasiswa, kita tidak punya kekuatan besar. Tapi kita punya suara. Dan suara itu tidak boleh padam. Karena kalau bukan kita yang menjaga nalar kritis dan keberanian bicara, siapa lagi?
Nurcholish Madjid pernah berkata,
"Setiap ideologi harus terus dikritik agar tidak membatu menjadi alat dominasi, "
Pancasila tidak boleh dikeramatkan sedemikian rupa hingga kebal dari evaluasi. Justru karena ia dasar negara, kita wajib mengujinya terus-menerus dalam kehidupan nyata.
Hari ini kita ucapkan, “Selamat memperingati Hari Lahir Pancasila, ” Tapi peringatan tak cukup. Kita harus menagih "di mana keadilan sosial itu?" "Di mana kemanusiaan yang adil dan beradab?" "Di mana ruang musyawarah yang sehat?"
Soekarno sudah memperingatkan dari awal,
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri, ”
Dan kini, kata-kata itu terasa nyata. Kita sedang berhadapan dengan kekuasaan yang seolah demokratis, tapi menyimpan luka-luka yang tak pernah disembuhkan.
Selamat memperingati Hari Lahir Pancasila. Tapi jangan berhenti di ucapan. Tanyakan terus siapa yang menjadikan Pancasila alat kekuasaan? Siapa yang mengingkari makna aslinya? Dan apa yang bisa kita lakukan untuk menjaga agar ia tetap relevan sebagai nilai hidup, bukan sekadar hiasan?
Karena kalau kita diam, Pancasila akan berubah wujud. Bukan lagi pedoman keadilan, tapi justru alat pembungkam kebenaran.
Nitzhe pernah berkata,
"diam artinya membiarkan diri untuk didikte oleh krisis,"
Penulis: Redaksi Reference
Komentar
Posting Komentar