![]() |
sumber gambar: by pixabay |
1 Mei adalah
hari Dimana dunia memperingati Hari Buruh Internasional. Di Indonesia sendiri,
momen ini cenderung dirayakan secara seremonial: parade, demonstrasi, dan
pernyataan simbolik dari pemerintah. Padahal, bagi kaum intelektual dan pengamat
politik, Hari Buruh bukan sekadar peringatan historis—ia adalah panggilan untuk
merefleksikan secara jujur bagaimana negara memperlakukan tulang punggung
ekonomi: para buruh.
Buruh tidak
hanya menjadi komponen penting dalam sistem produksi, tetapi juga representasi
nyata dari struktur sosial yang timpang. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang
digembar-gemborkan pemerintah, nasib buruh justru semakin terpinggirkan. Ironi
ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tidak selalu berarti kemajuan, terlebih jika
keadilan tidak menjadi pondasinya.
Potret Buram
Buruh Indonesia Hari Ini
Upah Minimum
yang Tidak Lagi Menjamin Kehidupan Layak
Ketika negara
menetapkan upah minimum, semestinya angka itu menjadi jaminan dasar bagi
kehidupan yang manusiawi. Namun realitas hari ini menunjukkan sebaliknya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2024, rata-rata upah
buruh nasional hanya berada di angka Rp3.040.719 per bulan. Angka ini jauh dari
mencerminkan kesejahteraan. Bahkan, di sektor jasa lainnya—yang banyak diisi
oleh buruh harian lepas seperti petugas kebersihan, penjaga parkir, hingga
pekerja informal lainnya—rata-rata upah hanya menyentuh Rp1.744.402 per bulan
(Goodstats, 2024). Angka ini menjadi semakin ironis ketika kita
membandingkannya dengan standar kebutuhan hidup layak (KHL) di kota besar
seperti DKI Jakarta, yang saat ini hampir menembus Rp5 juta per bulan. Artinya,
seorang buruh yang bekerja penuh waktu, setiap hari, belum tentu mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya: pangan, papan, kesehatan, pendidikan, hingga transportasi.
Ketimpangan ini
tidak semata-mata soal ekonomi, tapi menyangkut moralitas kebijakan publik.
Ketika negara membiarkan upah minimum berada di bawah garis hidup layak, maka
sesungguhnya negara telah melegitimasi kemiskinan sebagai sesuatu yang normal.
Kita sedang menyaksikan bagaimana istilah “upah minimum” perlahan kehilangan
makna substansialnya—ia tak lagi minimum untuk hidup, tapi hanya cukup untuk
bertahan. Bahkan itu pun, dalam kondisi serba kekurangan. Kondisi ini
menegaskan bahwa logika pengupahan di Indonesia masih sangat berpihak pada
kepentingan pemilik modal, bukan pada nilai keadilan sosial yang menjadi amanat
konstitusi. Maka, perjuangan buruh hari ini bukan hanya soal nominal gaji, tapi
juga tentang menuntut kembali keberpihakan negara yang telah lama terdistorsi
oleh kepentingan ekonomi elite.
Kesenjangan
yang Terstruktur: Antara Pendidikan dan Ketidakadilan Gender
Dalam dunia
kerja Indonesia, upah bukan semata cerminan kinerja atau kontribusi, melainkan
produk dari struktur sosial yang timpang. Salah satu indikator yang paling
mencolok adalah kesenjangan berbasis tingkat pendidikan. Data menunjukkan bahwa
buruh dengan latar belakang pendidikan dasar (SD ke bawah) rata-rata hanya
memperoleh penghasilan sekitar Rp2.080.000 per bulan. Sementara mereka yang
berhasil menempuh pendidikan Diploma bisa mendapatkan hingga Rp4.250.000.
Perbedaan ini bukan hanya soal kemampuan, tetapi juga tentang bagaimana sistem
menghargai akses pendidikan yang sangat tidak merata di negeri ini. Namun ironi
terbesar justru menimpa buruh perempuan. Di tengah berbagai retorika kesetaraan
gender, realitas di lapangan tetap menunjukkan wajah diskriminatif yang keras.
Menurut laporan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada tahun 2023,
kesenjangan upah gender di Indonesia masih berada pada angka 22 persen. Dengan
kata lain, dalam jenis pekerjaan yang sama, perempuan tetap dibayar lebih
rendah hanya karena identitas gender mereka.
Diskriminasi
ini tidak muncul dalam ruang hampa. Ia adalah hasil dari struktur sosial
patriarkal yang telah lama mengakar dalam budaya kerja, kebijakan negara, dan
pola pikir masyarakat. Dalam kerangka politik ekonomi, ketidakadilan ini
merepresentasikan kegagalan negara dalam menciptakan arena kerja yang adil dan
setara. Negara belum benar-benar hadir untuk memastikan bahwa semua pekerja
dihargai secara layak, tanpa memandang latar belakang pendidikan atau jenis
kelamin. Ketika pendidikan gagal menjamin kesejahteraan, dan ketika gender
menjadi penghalang bagi kesetaraan upah, maka sistem ketenagakerjaan kita perlu
dikritisi secara menyeluruh. Ini bukan semata problem teknis pengupahan,
melainkan soal kegagalan kolektif dalam menegakkan keadilan sosial di ranah
produksi.
PHK Massal dan
Sektor Informal: Wajah Eksploitasi Modern di Bawah Bayang-Bayang Ketidakpastian
Di tengah
semangat pertumbuhan ekonomi yang kerap dielu-elukan oleh pemerintah, ada sisi
gelap dari dunia kerja yang jarang disentuh secara serius oleh wacana kebijakan
publik. Antara Januari hingga April 2024, Indonesia mencatat lebih dari 127.000
kasus pemutusan hubungan kerja (PHK), dengan sebagian besar terjadi di sektor
manufaktur—sektor yang selama ini dianggap sebagai lokomotif utama perekonomian
nasional (Analisa Daily, 2024). Di balik angka tersebut tersembunyi kisah-kisah
kehilangan: hilangnya pekerjaan, pendapatan, jaminan hidup, bahkan harga diri.
Fenomena PHK
massal ini bukanlah sekadar dampak dari perlambatan ekonomi global atau
penyesuaian bisnis pasca-pandemi. Ia juga merupakan cerminan rapuhnya sistem
ketenagakerjaan nasional yang sangat rentan terhadap gejolak pasar. Di
negara-negara dengan sistem perlindungan tenaga kerja yang kuat, PHK dilakukan
dengan mekanisme sosial yang adil—dilengkapi dengan pesangon yang memadai,
jaminan pengangguran, dan pelatihan ulang bagi pekerja. Namun di Indonesia, PHK
kerap menjadi vonis sepihak tanpa ruang perlawanan.
Yang lebih
memprihatinkan adalah fakta bahwa lebih dari 59% angkatan kerja Indonesia
berada di sektor informal (BPS, 2023). Ini berarti mayoritas pekerja Indonesia
hidup tanpa kontrak kerja yang jelas, tanpa jaminan sosial, tanpa asuransi
kesehatan, dan tentu saja tanpa kepastian masa depan. Mereka bekerja sebagai
pedagang kaki lima, buruh bangunan harian, pengemudi ojek daring, asisten rumah
tangga, hingga pekerja rumahan. Mereka adalah penyangga utama aktivitas
ekonomi, tetapi juga yang paling tidak dilindungi oleh sistem.
Sektor informal
seolah menjadi zona abu-abu yang dibiarkan tumbuh tanpa regulasi memadai, dan
ironisnya, menjadi tameng statistik bagi pemerintah untuk menyatakan penurunan
angka pengangguran. Padahal, bekerja di sektor informal sering kali bukan
pilihan bebas, melainkan keterpaksaan karena tak ada akses terhadap pekerjaan
formal yang layak. Ini adalah bentuk eksploitasi modern—bukan dengan rantai dan
borgol, tetapi dengan ketidakpastian dan ketidakpedulian negara.
Negara yang
gagal memberikan perlindungan terhadap pekerja informal sejatinya sedang
membiarkan warganya bertarung sendirian dalam arena ekonomi yang kejam. Negara
seperti ini bukan saja abai, tetapi juga secara tidak langsung memfasilitasi
ketimpangan struktural yang menguntungkan segelintir elite dan menyengsarakan
mayoritas. Ketika tenaga kerja menjadi korban sistem, maka yang gagal bukan
hanya pasar, tetapi juga negara dan moralitas politik itu sendiri.
Sudah saatnya
negara tidak lagi memandang buruh sebagai beban, tetapi sebagai subjek
pembangunan yang layak diperlakukan secara manusiawi. Perlindungan terhadap
pekerja, baik formal maupun informal, bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan
ukuran dari seberapa beradabnya sebuah bangsa.
Saatnya Negara
Memihak, Bukan Menghindar
Hari Buruh
bukan sekadar seremoni tahunan yang dirayakan dengan orasi dan spanduk,
melainkan momentum evaluasi mendalam atas bagaimana negara memperlakukan para
pekerjanya. Fakta-fakta yang telah dipaparkan—mulai dari upah yang tidak
manusiawi, kesenjangan pendidikan dan gender, maraknya PHK massal, hingga
dominasi sektor informal—menggambarkan realitas kelam buruh Indonesia hari ini.
Ini bukan hanya soal ketimpangan ekonomi, tetapi juga cerminan dari kegagalan
sistem politik dalam menjalankan mandat keadilan sosial. Negara tidak boleh
terus bersikap netral di tengah ketimpangan. Karena dalam ketimpangan,
netralitas justru berarti keberpihakan pada yang kuat. Saat buruh dihimpit oleh
rendahnya upah, ketidakpastian kerja, dan minimnya perlindungan hukum, maka
sikap diam pemerintah adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi
yang menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Ini adalah
ultimatum bagi penguasa dan pembuat kebijakan: jika negara terus melanggengkan
sistem yang menindas buruh, maka negara sedang menggali jurang ketimpangan yang
semakin dalam. Sudah waktunya kita membangun sistem ketenagakerjaan yang
adil—dengan menjamin upah layak, perlindungan sosial menyeluruh, kesetaraan
gender, dan akses pendidikan untuk mobilitas kelas pekerja. Hari Buruh
seharusnya bukan hanya memperingati perjuangan masa lalu, tetapi menjadi
penanda komitmen baru: bahwa buruh bukan objek pembangunan, melainkan
jantungnya. Dan tanpa keberpihakan nyata kepada buruh, cita-cita Indonesia
sebagai negara yang adil dan sejahtera hanyalah ilusi belaka.
Komentar
Posting Komentar