Dalam
sistem pemerintahan modern, istilah
kleptokrasi dan demokrasi sering digunakan untuk menjelaskan dua kutub
kekuasaan yang sangat berbeda. Kleptokrasi menggambarkan kondisi di mana kekuasaan
digunakan untuk memperkaya diri sendiri dan kelompok elit, sementara demokrasi,
secara ideal, mengedepankan kedaulatan rakyat dan transparansi. Dengan
meningkatnya kritik terhadap maraknya korupsi dan nepotisme di Indonesia,
muncul pertanyaan yang mendalam apakah Indonesia benar- benar negara demokrasi,
atau apakah kita berada di ambang kleptokrasi?
Kleptokrasi
adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sistem pemerintahan di mana
para pemimpin memanfaatkan kekuasaan politik mereka untuk mengakumulasi
kekayaan pribadi secara ilegal. Kata ini berasal dari bahasa Yunani, klepto
(mencuri) dan kratos (kekuatan), yang mencerminkan bentuk pemerintahan di mana
korupsi menjadi bagian integral dari sistem.
Negara
yang dikuasai oleh kleptokrasi tidak hanya merusak keadilan sosial, tetapi juga
menahan pertumbuhan ekonomi dan mengikis kepercayaan rakyat terhadap
pemerintahan. Dalam kleptokrasi, lembaga yang seharusnya mengawasi
penyalahgunaan kekuasaan justru dilemahkan atau dikendalikan oleh elit,
menciptakan sistem yang sulit untuk diubah.
Istilah
kleptokrasi mulai mendapat perhatian pada abad ke-20, meskipun fenomenanya
telah terjadi selama ribuan tahun. Para ekonom dan pengamat politik, termasuk
Moisés NaÃm, memperkenalkan konsep ini untuk memahami bagaimana kekuasaan
digunakan untuk kepentingan pribadi di banyak negara berkembang. Kleptokrasi
sering berkembang di negara- negara dengan institusi yang lemah, di mana
pengawasan terhadap pemerintah tidak memadai dan korupsi merajalela.
Jika
kleptokrasi merupakan lawan dari transparansi dan akuntabilitas, maka demokrasi
justru menekankan kedua prinsip tersebut. Demokrasi bertujuan untuk menempatkan
kekuasaan di tangan rakyat, melalui pemilihan umum yang bebas dan adil. Dalam
demokrasi, pejabat publik bertanggung jawab kepada rakyat dan kebijakan dibuat
untuk kepentingan publik, bukan elit semata.
Sebaliknya,
dalam kleptokrasi, para pejabat dan elit politik menggunakan posisi mereka
untuk memperkaya diri sendiri, sementara kepentingan publik diabaikan.
Institusi yang seharusnya mengawasi pemerintah seperti pengadilan, parlemen,
atau lembagaanti-korupsi, dilemahkan agar tidak bisa berfungsi dengan
efektif.
Indonesia,
meskipun secara resmi adalah negara demokrasi, menghadapi tantangan besar dalam
bentuk kleptokrasi. Pada tahun 2019, revisi terhadap Undang-Undang Komisi
Pemberantasan Korupsi( KPK) menuai kritik luas. Banyak yang berpendapat bahwa
revisi ini melemahkan lembaga antikorupsi tersebut, yang selama ini menjadi
ujung tombak dalam memerangi korupsi di Indonesia. Mahfud Md, Menteri
Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, bahkan menyebut Indonesia sebagai "negara
para maling", menggambarkan betapa kronisnya masalah korupsi di negara
ini.
Data
dari translucency International pada tahun 2023 menunjukkan bahwa Indeks
Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia hanya mencapai skor 34 dari 100, menempatkan
Indonesia di peringkat ke-96 dari 180 negara. Angka ini menunjukkan bahwa
meskipun Indonesia secara struktural mengklaim sebagai negara demokrasi,
kenyataannya tingkat korupsi masih sangat tinggi. Lembaga-lembaga negara yang
seharusnya mengawasi kekuasaan sering kali tidak berdaya menghadapi tekanan
dari elit politik dan ekonomi.
Korupsi
adalah inti dari kleptokrasi. Dalam kleptokrasi, korupsi bukan lagi tindakan
insidental, melainkan menjadi bagian integral dari sistem pemerintahan. Para
pemimpin dan elit politik menggunakan kekuasaan mereka untuk mengeruk kekayaan
negara demi keuntungan pribadi. Mereka memanfaatkan posisi mereka untuk membuat
kebijakan yang menguntungkan kelompok elit, sementara rakyat hanya mendapatkan
sisa dari eksploitasi tersebut.
Hubungan
erat antara kleptokrasi dan korupsi terlihat jelas di Indonesia. Kasus- kasus
korupsi besar, seperti korupsi bansos yang terjadi selama pandemi COVID- 19,
memperlihatkan bagaimana pejabat negara bisa menyalahgunakan kekuasaan mereka
untuk memperkaya diri di tengah krisis yang melanda rakyat.
Menurut
data translucency International, skor Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi (CPI)
2023 menunjukkan bahwa negara ini masih terjebak dalam masalah korupsi yang
serius. Dengan skor 34 dari 100, Indonesia terperosok dalam peringkat ke-96
dari 180 negara yang disurvei. Data ini menunjukkan bahwa meskipun ada
reformasi dan upaya untuk memberantas korupsi, Indonesia masih jauh dari bersih
dari praktik korupsi, terutama di kalangan elit politik.
Kasus-kasus
korupsi besar di sektor infrastruktur, pengadaan barang, serta penyuapan
pejabat tinggi adalah bukti nyata betapa mendalamnya kleptokrasi telah
menyusupi sistem pemerintahan Indonesia.
Melihat
fenomena yang ada, Indonesia tampaknya sedang berada di persimpangan antara
demokrasi dan kleptokrasi. Meski memiliki sistem demokrasi yang formal, praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme di negara ini menunjukkan bahwa nilai- nilai
demokrasi semakin tergerus. Terutama ketika politik dinasti semakin menguat,
dengan anggota keluarga pejabat tinggi seperti Gibran Rakabuming Raka dan
Kaesang Pangarep yang memasuki politik. Fenomena ini memperlihatkan bahwa jalur
kekuasaan semakin tertutup bagi mereka yang tidak memiliki akses ke elit
penguasa, sebuah ciri khas kleptokrasi.
Hubungan
antara pemerintah dan oligarki di Indonesia juga memperlemah demokrasi. Seperti
yang dilaporkan oleh Katadata, segelintir konglomerat memiliki pengaruh besar
terhadap kebijakan pemerintah, menciptakan ketimpangan ekonomi yang semakin
lebar. Para konglomerat ini sering kali mendapatkan keuntungan dari proyek-
proyek pemerintah, sementara kepentingan rakyat dikesampingkan. Demokrasi yang
sehat seharusnya memberdayakan rakyat, tetapi yang terjadi di Indonesia
menunjukkan bahwa kepentingan elit politik dan ekonomi lebih diutamakan.
Maka,
muncul pertanyaan mendasar Apakah Indonesia masih merupakan negara demokrasi,
atau sudah bergeser menuju kleptokrasi? Praktik korupsi yang meluas, dominasi
oligarki, serta politik dinasti yang semakin menguat menunjukkan bahwa
demokrasi Indonesia tengah berada dalam ancaman serius. Jika tidak ada
reformasi mendasar, Indonesia berisiko semakin terjebak dalam sistem yang
mendekati kleptokrasi, di mana kekuasaan dan kekayaan hanya dinikmati oleh
segelintir elit, sementara rakyat terus tertindas.
Namun,
pertanyaan ini tidak bisa hanya dijawab oleh pemerintah atau pengamat politik,
melainkan oleh kita semua sebagai rakyat Indonesia. Apakah kita akan membiarkan
sistem ini terus berjalan, atau justru kita akan berupaya memperjuangkan
kedaulatan demokrasi yang sejati?
Bagaimana menurut Kalian? Apakah Indonesia saat ini lebih dekat ke arah demokrasi atau kleptokrasi?
Penulis: Zaenal Arifin
Komentar
Posting Komentar