Salah satu isu utama yang menjadi sorotan dalam pemerintahan Jokowi adalah pendekatannya dalam merangkul lawan politiknya, sebuah strategi yang sering disebut sebagai "politik akomodasi." Langkah ini telah menjadi ciri khas kepemimpinannya, di mana Jokowi tidak hanya mendekati, tetapi juga mengintegrasikan tokoh-tokoh dari kubu oposisi ke dalam pemerintahannya. Meski secara pragmatis bisa dianggap sebagai upaya untuk menciptakan stabilitas politik, pendekatan ini menimbulkan kekhawatiran serius mengenai pelemahan fungsi check and balances dalam demokrasi Indonesia.
Sejak masa jabatan keduanya, Jokowi terlihat semakin aktif dalam merangkul lawan-lawan politiknya. Salah satu contoh paling mencolok adalah penunjukan Prabowo Subianto, yang sebelumnya menjadi rival kuat dalam dua pemilu presiden berturut-turut, sebagai Menteri Pertahanan. Langkah ini awalnya dipandang sebagai bentuk rekonsiliasi politik yang diperlukan untuk meredam polarisasi yang terjadi pasca pemilu. Namun, seiring waktu, banyak pengamat mulai melihat ini sebagai bentuk kooptasi terhadap oposisi, di mana tokoh-tokoh yang seharusnya menjadi pengawas kekuasaan justru diintegrasikan ke dalam pemerintahan.
Tindakan ini tidak hanya terbatas pada Prabowo. Jokowi juga merangkul tokoh-tokoh dari partai-partai yang sebelumnya berada di luar koalisi pemerintah, seperti Partai Gerindra dan Partai Amanat Nasional (PAN). Penggabungan ini memperkuat posisi Jokowi, tetapi di sisi lain, mengurangi kemampuan oposisi untuk berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan. Dalam konteks ini, oposisi yang efektif—yang seharusnya memainkan peran penting dalam menjaga akuntabilitas dan transparansi pemerintahan—menjadi semakin lemah dan terfragmentasi.
Selain itu, langkah Jokowi dalam merangkul lawan politik ini juga menciptakan potensi konflik kepentingan yang lebih besar dalam pemerintahan. Ketika para mantan rival kini menjadi bagian dari kabinet, ada kekhawatiran bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah akan semakin diwarnai oleh kompromi-kompromi politik, yang mungkin tidak selalu sejalan dengan kepentingan publik. Akibatnya, kebijakan-kebijakan penting mungkin tidak mendapatkan pengawasan yang memadai, karena sebagian besar tokoh politik utama berada dalam satu payung kekuasaan yang sama.
Fenomena ini sering dikritik sebagai bentuk "kartelisasi politik," di mana elite-elite politik utama, meskipun berbeda partai, bersatu dalam aliansi pragmatis yang bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan. Kartelisasi ini mengaburkan batas antara pemerintah dan oposisi, serta mengurangi ruang bagi perdebatan politik yang sehat dan dinamis. Lebih jauh lagi, ini berisiko menciptakan sistem politik di mana keputusan-keputusan penting dibuat oleh segelintir elite, tanpa melibatkan masukan yang berarti dari masyarakat luas.
Dalam jangka panjang, strategi politik akomodasi seperti ini dapat berpotensi merusak fondasi demokrasi Indonesia. Ketika fungsi check and balances semakin melemah, risiko terjadinya penyalahgunaan kekuasaan pun meningkat. Demokrasi yang sehat membutuhkan oposisi yang kuat dan berfungsi untuk mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah. Tanpa adanya oposisi yang efektif, demokrasi bisa berubah menjadi sekadar prosedur formal tanpa substansi yang sebenarnya.
Di sisi lain, kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia di Indonesia juga menjadi sorotan utama dalam masa pemerintahan Presiden Jokowi. Sejak awal masa jabatannya, Jokowi sering kali menekankan pentingnya demokrasi dan hak asasi manusia. Namun, dalam praktiknya, berbagai kebijakan dan tindakan yang diambil oleh pemerintah dan aparat keamanan menunjukkan adanya kecenderungan yang mengarah pada pembatasan kebebasan sipil, yang sering kali dianggap sebagai bentuk otoritarianisme yang terselubung.
Salah satu contohnya adalah peningkatan penggunaan undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) untuk menjerat mereka yang dianggap mengkritik pemerintah. Undang-undang ini, meskipun awalnya dimaksudkan untuk mengatur ruang digital, sering kali disalahgunakan untuk membungkam aktivis, jurnalis, dan warga sipil yang berani menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Kasus-kasus kriminalisasi terhadap para pengkritik ini tidak jarang disertai dengan penangkapan dan penahanan tanpa proses hukum yang transparan, yang menunjukkan bahwa kebebasan berpendapat di Indonesia semakin terancam (The University of Sydney).
Selain itu, aksi-aksi protes yang dilakukan oleh masyarakat sering kali dihadapi dengan tindakan represif oleh aparat keamanan. Misalnya, dalam berbagai demonstrasi besar yang terjadi selama beberapa tahun terakhir, termasuk protes terhadap revisi Undang-Undang KPK dan Omnibus Law, aparat keamanan menggunakan kekuatan berlebihan untuk membubarkan massa. Penggunaan gas air mata, kekerasan fisik, hingga penangkapan massal menjadi pemandangan yang umum dalam upaya meredam suara-suara oposisi. Pendekatan semacam ini menimbulkan kekhawatiran bahwa negara lebih mengutamakan stabilitas politik daripada perlindungan hak-hak fundamental warganya (East Asia Forum).
Kecenderungan otoritarianisme ini mengingatkan pada masa-masa kelam Orde Baru, di mana kritik terhadap pemerintah dianggap sebagai ancaman serius terhadap stabilitas negara. Di bawah pemerintahan Soeharto, segala bentuk dissent atau ketidaksetujuan dengan kebijakan pemerintah dipandang sebagai ancaman yang harus dihilangkan, bukan sebagai bagian dari dinamika demokrasi yang sehat. Kini, meskipun konteks politik telah berubah, pola pikir yang menganggap kritik sebagai ancaman tampaknya kembali mengemuka dalam kebijakan-kebijakan tertentu pemerintah Jokowi.
Tidak hanya itu, independensi media juga terancam. Beberapa media dan jurnalis yang berusaha mengungkap isu-isu sensitif sering kali menghadapi tekanan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ada laporan bahwa sejumlah media menghadapi tekanan dari pemegang kepentingan politik atau bisnis yang dekat dengan kekuasaan, yang berujung pada praktik-praktik penyensoran diri (self-censorship). Situasi ini semakin mengikis fungsi media sebagai pilar keempat demokrasi yang seharusnya mengawasi jalannya pemerintahan dengan kritis dan objektif.
Lebih jauh lagi, tren otoritarianisme ini juga terlihat dari meningkatnya pengawasan terhadap organisasi masyarakat sipil dan LSM yang dianggap kritis terhadap pemerintah. Beberapa organisasi yang terlibat dalam advokasi hak asasi manusia dan reformasi demokrasi mengalami hambatan operasional, termasuk intimidasi dan pembatasan pendanaan. Ini menunjukkan upaya pemerintah untuk mengontrol narasi publik dan mempersempit ruang gerak bagi kelompok-kelompok yang memiliki pandangan berbeda).
Keseluruhan dinamika ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia secara resmi masih mengaku sebagai negara demokrasi, ada tanda-tanda yang sangat jelas terjadinya penurunan demokrasi. Ketika kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia dibatasi, dan ketika pemerintah semakin bersikap represif terhadap kritik, maka demokrasi yang seharusnya menjadi pilar bagi pembangunan negara bisa tergelincir ke arah otoritarianisme yang lebih terselubung. Masyarakat perlu terus memantau dan mengkritisi peristiwa ini agar Indonesia tidak kembali ke masa di mana kekuasaan berjalan secara absolut dan tidak bisa dipertanyakan.
Penulis : Mohammad Nayaka Rama Yoga
Komentar
Posting Komentar