![]() |
Sumber foto: AyoSemarang.com |
Virus covid-19 mulai
masuk di Indonesia sekitar awal bulan Maret lalu, korban yang tadinya hanya
sekitar 3 orang sekarang kian bertambah banyak. Terhitung sudah 11 bulan virus
covid-19 masih bertebaran luas disekitar kita. Pemerintah juga melakukan
berbagai upaya pencegahan untuk memutus rantai penularan covid-19 ini. Dampak
yang terjadi adanya virus covid-19 secara tidak langsung membuat perubahan
sosial di dalam masyarakat. Adanya perubahan sosial akibat covid-19 di
Indonesia dapat dilihat dari segala aspek baik aspek sosial, ekonomi,
pendidikan, budaya, dan politik. Sehinga dinamika tatanan pemerintah membuat
sebuah aturan baru demi kemaslahatan rakyat di tengah pandemi covid-19 ini.
Pemerintah membuat peraturan baru di tengah pandemi covid-19 dengan menerapkan social distancing atau menjaga jarak. Di era new normal ini Pemerintah mengimbau untuk menjaga jarak satu sama lain, menerapkan protokol kesehatan dengan memakai masker ketika bepergian, selalu mencuci tangan dan membawa handsanitizer. Ditempat umum juga disediakan tempat cuci tangan, dan handsanitizer serta pengecekan suhu tubuh.
Dampak ekonomi adanya covid-19 banyak dari sebagian masyarakat kehilangan pekerjaannya karena pengurangan jumlah karyawan di salah satu kantor demi memutus rantai covid-19. Tak hanya itu dampak covid-19 ini juga berdampak pada aspek pendidikan yang mana proses pembelajaran dilakukan malaui daring. Pekerjaan juga terkadang di haruskan work from home agar tidak terlalu sering berkerumun. Selain aspek ekonomi yang sangat menonjol akan dampak pandemi covid-19, ada aspek pendidikan yang lebih sangat berdampak. Kegiatan pembelajaran yang mengharuskan melalui daring atau online membuat para remaja lebih berinteraksi dan intens pada media sosial. Komunikasi yang terjalin pada teman-temannya melalui media sosial. Hal ini berdampak pada kebebeasan dalam mengeksplore media sosial bagi remaja.
Maraknya berita di masa pandemi covid-19 ini angka pernikahan usia dini semakin meningkat. Tercatat dikutip dari berita Sindonews banyaknya kasus pernikahan dini terjadi dari data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2018 sekita 14,18% dan mengalami kenaikan pada tahun 2019 sebesar 15,66%. Dalam hal ini, peraturan UU tentang pernikahan batas minimal usia laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun, membuat pemerintah juga ingin mengatasi laju kenaikan pernikahan dini di Indonesia dengan mengganti peraturan batasan minimal UU tentang pernikahan.
Tak banyak kasus-kasus pernikahan dini terjadi pada usia remaja yang seharusnya masih di bangku sekolah, sudah harus membangun hirup biduk rumah tangga. Kasus-kasus yang terjadi tidak mesti kedua pasangan yang masih remaja, ada yang salah satu dari pasangannya masih berusia remaja. Banyak faktor yang memengaruhi pernikahan dini terjadi, diantaranya faktor ekonomi sehingga orang tua menikahkan anaknya dengan laki-laki yang lebih tajir agar mendorong prekonomian keluarganya, ada juga karena memang faktor rasa suka saling suka, ada juga karena hamil diluar nikah, dan sebagianya.
Kesiapan fisik pada remaja berumur belasan tahun sudah siap menikah untuk kemudian berhubungan seksual. Namun, (remaja belasan tahun) tidak siap secara mental, spiritual, emosi, dan sosial. Dan remaja yang menikah di bawah 20 tahun akan mengalami krisis identitas diri. Banyaknya pola pikir remaja yang hanya memikirkan kenikmatan menikah saja tanpa memikirkan kehidupan pasca menikah.
Di Semarang angka pernikahan usia dini juga tinggi. Dilansir dari laman web Pemprov Jateng upaya pencegahan pernikahan usia dini terjadi yaitu menggajak berbagai instansi seperti Dinas Kesehatan melalui program pelayanan kesehatan peduli remaja, Usaha Kesehatan Sekolah, Posyandu Remaja. Selain itu, penyuluhan pencegahan perkawinan anak di ponpes (pondok pesantren) dan madrasah juga diselenggarakan Kemenag, serta keterlibatan Dinas Pendidikan dengan memasukkan materi tentang reproduksi dan dampak perkawinan anak. Peran orang tua terhadap anaknya juga penting dalam mengedukasi tentang pernikahan usia dini dan problematikanya setelah berumah tannga. Tidak hanya memikirkan konsep halal saja setelah menikah, namun juga memikirkan kehidupan setelah menikah. Usia yang masih remaja harusnya menikmati masa-masa remaja dengan menambah wawasan pengetahuan, pertemanan yang baik, dan menngembangkat bakat.
Di tengah pandemi covid-19 walaupun dirumah aja dengan kegiatan terkadang yang membuat boring kita bisa membuat suasana dirumah tetep asyik, dengan memanfaatkan waktu luang untuk kegaiatan positif. Jangan karena dirumah aja dengan aktivitas yang terbatas membuat pergaulan juga menjadi bebas. Para remaja juga bisa mengikuti kegaitan webinar tentang kesehatan reproduksi, dampak pergaulan bebas, resiko pernikahan dini, dll.
Penulis: Rinda Setyo Kusumawati
Komentar
Posting Komentar