Minim Diskusi, Degradasi Literasi, Sporadis Aksi
Oleh:
Hibatullah Hauzan Hanif
Hampir
setengah periode sejak dilantik Februari lalu, masing-masing ormawa berlomba-lomba
menunjukkan eksistensinya, baik melalui media sosial maupun dengan
program-program kerja. Tulisan ini akan membahas kinerja ormawa selama setengah
periode yang telah berjalan, khususnya dalam rangka mengimplementasikan jargon FISIP
yakni “diskusi, literasi, dan aksi” serta mewujudkan cita para fungsionaris
organisasi terdahulu, yakni menjadikan FISIP sebagai “Singa Walisongo”.
Ormawa
eksekutif tertinggi di FISIP, yakni Dewan Eksekutif Mahasiswa FISIP (Dema
FISIP) perlu dibahas paling awal. Sebelum pelantikannya, Dema FISIP bahkan sudah
menunjukkan gelagat menjanjikan terkait program kerja yang akan dilaksanakan.
Terlebih dari unggahan di media sosialnya yang lebih komunikatif dibanding
periode sebelumnya. Namun, sejauh ini baru ada beberapa program yang memang
bersinggungan langsung dengan mahasiswa, yakni pelatihan desain yang
dilaksanakan beberapa bulan yang lalu. Selebihnya, praktis hanya Festival Ramadan
yang benar-benar konkret, itu pun realisasinya tidak diikuti secara antusias
oleh mahasiswa FISIP. Barangkali, dari pihak Dema FISIP sendiri terlalu sibuk
menyiapkan hajat besar yang akan dihelat setelah kegiatan Pengenalan Budaya
Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK), yakni
“Fisipology”.
Selanjutnya,
Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik (HMJ Ilmu Politik), yang memulai
kegiatannya dengan banyak gebrakan. Bahkan ketika ormawa lain belum memiliki
seragam, HMJ Ilmu Politik sudah mengenakan seragam kebanggaannya saat kegiatan
perdananya. Meskipun, menurut pandangan penulis pribadi, seragam bukanlah
baromater kinerja sebuah organisasi, tetapi itu merupakan hal yang cukup baik
dan menandakan ada keinginan yang kuat untuk membawa Ilmu Politik ke arah yang
lebih baik. Selain dari segi simbolik, HMJ Ilmu Politik juga mampu menghasilkan
program inovatif yang benar-benar baru, seperti program Trash Free Day yang
dilaksanakan setiap hari Jumat dan menyinergikan program tersebut dengan
komunitas Sampah Muda Semarang.
Pembahasan
terakhir adalah terkait HMJ Sosiologi. Jika dilihat, kedua ormawa sebelumnya langsung
membangun citra lewat media sosial, berbeda dengan HMJ Sosiologi yang terbilang
cukup lamban. Sangat berbalik jika dibandingkan dengan tahun lalu yang mana HMJ
Sosiologi terlihat sebagai ormawa dengan citra media sosial terbaik. Terlepas
dari kekurangan itu, HMJ Sosiologi justru menjadi ormawa pertama yang sukses
menyelenggarakan seminar dengan skala universitas, yakni Seminar Komunikasi
yang diselenggarakan pada pertengahan Juni lalu. Selain seminar, HMJ Sosiologi
juga cukup tanggap ketika ada peristiwa penggusuran di Tambakrejo, Semarang
Utara pada pertengahan Mei lalu. HMJ Sosiologi juga membuat program berupa
“Mahasiswa Mengajar” yang diadakan setiap hari dan terbuka untuk umum.
Terlepas
dari gebrakan-gebrakan yang dibuat oleh masing-masing ormawa, ada beberapa aspek yang saat ini kurang terjamah
secara optimal oleh ketiga ormawa tersebut. Aspek tersebut adalah diskusi, literasi, dan aksi.
Ormawa sebagai wadah partisipasi mahasiswa, baik di tingkat jurusan maupun
fakultas, seharusnya mampu mengakomodir tiga aspek tersebut.
Dari Maret hingga akhir Juli saat tulisan ini
dibuat, sama sekali tidak ada diskusi yang berkelanjutan dari ketiga ormawa
tersebut. Padahal, Dema FISIP dan HMJ Ilmu Politik memiliki divisi baru, yakni
Divisi Kastrat dalam struktur organisasinya, serta HMJ Sosiologi yang
mempertahan Divisi Wacananya. Dalam pelaksanaannya, hanya Divisi Kastrat HMJ
Ilmu Politik yang melaksanakan program kerjanya, itu pun hanya Nonton Bareng Debat
Presiden beberapa bulan yang lalu. Tidak ada diskusi yang membahas terkait isu
yang berkembang di masyarakat, padahal 2019 merupakan tahun politik yang
seharusnya momentum tersebut dimanfaatkan oleh ormawa untuk mengadakan diskusi
sebanyak-banyaknya.
Dari
aspek literasi, tidak ada upaya konkret dari ketiga ormawa dalam meningkatkan
literasi mahasiswa, padahal HMJ Ilmu Politik pada tahun lalu mencoba
meningkatkan literasi mahasiswa dengan program Perpustakaan Politik yang
bertempat di sekretariat HMJ. Namun, hingga saat ini program tersebut seolah
tenggelam dan tidak terdengar gaungnya sama sekali.
Yang
terakhir, FISIP minim adanya aksi, baik teatrikal maupun monumental. Padahal,
dari pihak Dema UIN Walisongo pada Juni lalu mengadakan audiensi dan
demonstrasi di gedung Rektorat terkait dengan problematika TOEFL/IMKA. Sangat
disayangkan, ketiga ormawa eksekutif dan Senat Mahasiswa di FISIP sama sekali
tidak mengadakan diskusi guna memperluas pemahaman mahasiswa FISIP terkait
dengan problematika tersebut. Hasilnya pun mudah ditebak, partisipasi Mahasiswa
FISIP terkait hal tersebut dapat dihitung dengan jari.
Selain
itu, dari segi program pengabdian, baik HMJ Politik maupun Sosiologi, masih
belum bisa memaksimalkan wadah tersebut dengan baik, meskipun HMJ Sosiologi
bisa dikatakan selangkah lebih maju dengan mengadakan recruitment volunteer,
sedangkan HMJ Politik dengan LKMM yang notabene dijadikan divisi baru masih
mengalami stagnasi baik dari segi program maupun antusiasme kadernya, bahkan
sama sekali tidak ada sosisalisasi terkait program LKMM tersebut kepada
mahasiswa Ilmu Politik yang berimbas pada kuantitas relawan yang
berpartisipasi.
Sebagai
penutup, diskusi, literasi, dan aksi merupakan jargon yang digemakan pada PBAK
tahun lalu. Dari jargon tersebut, sebetulnya arah pergerakan dari FISIP mulai
terlihat yakni menciptakan mahasiswa yang memiliki antusiasme yang tinggi dalam
diskusi, memiliki budaya literasi yang baik, serta berjiwa kritis dalam
menanggapi fenomena yang ada. Sudah kodratnya FISIP menjadi pusat kajian
diskusi terlebih dalam merespons segala permasalahan, baik itu di dalam kampus
maupun di luar kampus. Terlebih pada tahun ini, terselenggaranya hajat negara
yang hanya berlangsung 5 tahun sekali. Namun, sayang sekali, momentum ini masih
belum bisa dimanfaatkan dengan baik oleh ormawa yang ada di FISIP. Peran
tersebut seolah hanya dijalankan oleh beberapa organisasi ekstra kampus yang
beberapa kali mengadakan diskusi dan aksi. Jika peran tersebut hanya dijalankan
oleh ekstra, lantas ormawa untuk apa?
Harapan
penulis di setengah periode ke depan, ormawa lebih gencar lagi dalam upaya
meningkatkan literasi mahasiswa dan membuat gedung FISIP dan sekitarnya tak
pernah sepi dari aktivitas diskusi mahasiswa yang tentunya perlahan akan
meningkatkan kepekaan, sikap kriti, dan jiwa sosial mahasiswa FISIP UIN
Walisongo Semarang, sehingga ke depannya FISIP mampu mewujudkan keinginan para
fungsionaris ormawa terdahulu, yakni menjadi “Singa Walisongo”.
Hmj sosiologi sudah pernah diskusi, walau baru hanya sekali. Kita juga ada tahlilan yang bersinggungan langsung dengan mahasiswa. Kami sadar akan diskusi tersebut, upaya" Telah kami lakukan, tentunya untuk hmj yg lebih baik lagii
BalasHapus