
ilustrasi : Tirto.id
Oleh :Rizky Agus Harnanto
Isu kekerasan, khususnya kekerasan seksual terhadap perempuan terus menjadi
kajian bagi banyak kalangan, khususnya pegiat sosial dan keadilan gender.
Namun, kita masih dihadapkan fakta bahwa kasus kekerasan seksual terhadap
perempuan yang berlangsung di masyarakat belum dapat hilang, dan justru
meningkat setiap tahunnya.
Tindakan yang tergolong kekerasan terhadap perempuan dapat digolongkan
mulai dari tindakan melecehkan baik secara verbal maupun non-verbal,
eksploitasi seksual sampai pada yang terparah yakni mengarah pada tindakan
kriminal seperti femisida atau pembunuhan oleh laki-laki terhadap perempuan
karena setatusnya sebagai perempuan, bahkan bentuk pembunuhannya semakin
diperparah dengan mutilasi. Yang menjadi perhatian di sini yakni tindakan kekerasan
seksual (sexual violence) terhadap perempuan sebagai satu
gender yang hampir selalui diposisi sebagai korban.
Berdasarkan Tahunan (CATAHU) KOMNAS Perempuan tahun 2018, di ranah
privat/personal, persentase kekerasan seksual berada di posisi kedua 31% (2.979
kasus) dibawah kekerasan fisik 41% (3.982 kasus), dan diatas kekerasan psikis
15% (1.404 kasus), dan kekerasan ekonomi 13% (1.244 kasus). Untuk kekerasan
seksual di ranah privat/personal tahun ini, incest (pelaku
orang terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga) merupakan kasus yang
paling banyak dilaporkan yakni sebanyak 1.210 kasus, kedua adalah kasus
perkosaan sebanyak 619 kasus, kemudian persetubuhan/eksploitasi seksual
sebanyak 555 kasus. Dari total 1.210 kasus incest, sejumlah 266
kasus (22%) dilaporkan ke polisi, dan masuk dalam proses pengadilan sebanyak
160 kasus (13,2%).
Di tahun ini, CATAHU juga menemukan bahwa pelaku kekerasan seksual
tertinggi di ranah privat/personal adalah pacar sebanyak 1.528 orang, diikuti
ayah kandung sebanyak 425 orang, kemudian diperingkat ketiga adalah paman
sebanyak 322 orang. Banyaknya pelaku ayah kandung dan paman selaras dengan
meningkatnya kasus incest.
Di ranah publik, kekerasan mencapai angka 3.528 kasus (26%), di mana
kekerasan seksual menempati peringkat pertama sebanyak 2.670 kasus (76%),
diikuti berturut-turut: kekerasan fisik 466 kasus (13%), kekerasan psikis 198
kasus (6%), dan kategori khusus yakni trafficking 191 kasus
(5%), dan kasus pekerja migran 3 kasus. Tiga (3) jenis kekerasan yang paling
banyak pada kekerasan seksual di ranah komunitas adalah pencabulan (911 kasus),
pelecehan seksual (708 kasus), dan perkosaan (669 kasus).
CATAHU 2018 mencatat dan memberikan perhatian serius pada persoalan: 1)
Kekerasan terhadap Perempuan di Dunia Maya: Kekerasan terhadap Perempuan di
Dunia Maya, Penghakiman Digital Bernuansa Seksual, Penyiksaan Seksual M di
Cikupa Tangerang, Kasus Persekusi Online dan Of line dokter
F, Situs dan Aplikasi:
Prostitusi Online Berkedok Agama di Ayopoligami.com dan
Nikahsirri.com, BN: Perempuan dan UU ITE, Lolly Candy: Kerentanan Ekspolitasi
Seksual Anak Perempuan di Dunia Maya, Semprotku.com, dan Eksploitasi Tubuh
Perempuan. 2) Kekerasan Seksual: Kasus Perkosaan Gang Rape Siswi SMP di
Bengkulu, Perkosaan Anak di Sekolah TK Mexindo Bogor oleh Penjaga Sekolah, dan
Pelecehan Seksual di Kereta Api Tujuan Bekasi.
Data di atas menunjukkan bahwa ancaman terhadap perempuan menjadi korban
kekerasan seksual tidak pandang tempat. Ancaman kekerasan seksual mengintai
perempuan dimanapun, baik di ruang publik maupun ruang personal atau privat,
bahkan di ranah virtual sekalipun. Bentuk kekerasan yang terjadi juga variatif
dan meningkat tiap tahun. Berbagai ruang kehidupan semakin tidak mampu menjamin
keamanan perempuan dari tindakan kekerasan seksual jika dilihat dari rentetan
kasus yang terjadi.
Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan yang meningkat tiap tahun
menunjukkan bahwa jamin keamanan bagi perempuan di berbagai ruang masih belum
dapat tercipta hingga saat ini. Di ruang privat, ancaman datang dari anggota
keluaga sendiri. Di ruang publik, bahaya tindakan kriminal dari luar berbau
kekerasan seks mengancam perempuan. Di dunia maya pun, interaksi yang terjadi
juga berpotensi terjadi kekerasan seksual.
Namun dilihat dari sisi positif, berbagai data yang tersaji tentang kasus
kekerasan terhadap perempuan menunjukkan langkah maju perempuan untuk berani
melaporkan kekerasan yang dialami, karena selama ini perempuan cenderung
dianggap menutup diri khususnya bila pelaku kekerasan adalah anggota keluarga
sendiri (ranah personal). Perhatian dan keberanian melaporkan kasus yang
dialami anak perempuan kepada lembaga layanan menunjukkan langkah maju
perempuan yang selama ini cenderung menutup diri kekerasan yang dialami, karena
dianggap aib pribadi si korban.
Kekerasan seksual khususnya terhadap perempuan dalam bentuk apapun tidak
dapat ditolerir. Perlu ada upaya preventif dalam mencegah kekerasan terhadap
perempuan serta tindakan represif yang tegas untuk menghukum para pelaku
kekerasan. Salah satu bentuk nyata adalah peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan (HAKTP) yang diperingati selama 16 hari di bulan November.
Berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang aktif dalam gerakan sosial membela
hak perempuan melakukan berbagai aksi. Hukum disini tetap menjadi hal penting
sebagai senjata pamungkas memerangi kekerasan seksual terhadap perempuan. Sudah
ada Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang
telah masuk dalam Dewan Pimpinan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Namun
hingga saat ini masih belum juga disahkan. Berbagai kalangan mendesak DPR untuk
segera mengesahkan RUU tersebut sebagai payung hukum untuk melindungi warga
Indonesia, khusunya perempuan dari ancaman kekerasan.
Untuk menghentikan masalah kekerasan, pelecehan dan perbagai stereotype terhadap
kaum perempuan, suatu aksi jangka pendek juga perlu mulai digalakkan. Kaum
perempuan sendiri harus mulai memberikan pesan penolakan secara tegas kepada
mereka yang melakukan kekerasan dan pelecehan agar tindakan kekerasan dan
pelecehan tersebut terhenti.
Perlu kiranya dikembangkan berbagai kelompok yang intensif membahas dan
saling membagi rasa pengalaman untuk berperan menghadapi masalah kekerasan dan
pelecehan. Karena kekerasan, pemerkosaan, pelecehan, dan segala bentuk yang
merendahkan kaum perempuan bukan semata-mata salah kaum perempuan, maka usaha
untuk menghentikan secara bersama perlu digalakkan (Fakih, 2007 : 156). Namun
kiranya keamanan terkait gerakan yang dilakukan juga perlu diperhatikan secara
khusus, mengingat gerakan dilakukan oleh kaum perempuan, karena tidak dapat
dipungkiri bahwa perempuan juga perlu perlindungan dari orang lain, baik sesama
kaumnya maupun dari kaum laki-laki.
Di Indonesia sendiri perempuan masih belum memiliki ruang aman yang
cukup untuk mengekspresikan dirinya, baik di ranah privat maupun publik.
Rentetan panjang kasus kekerasan berbasis gender, khususnya perempuann yang
selalu diposisi sebagai korban yang tiap tahun terus meningkat menggambarkan
fakta kelam bahwa upaya yang gencar dilakukan berbagai pihak, baik individu
maupun sekelompok aktivis untuk menekan angka kekerasan gender masih belum
memberikan hasil yang optimal.
Salah satu upaya utnuk menciptakan
ruang aman bagi perempuan perlu adanya kesadaran setiap pihak, baik kaum
laki-laki maupun perempuan terkait hak-hak asasinya, seperti hak untuk hidup,
memberikan pendapat, dan memilih jalan hidupnya. Edukasi tentang kekerasan
seksual juga sangat penting dilakukan terhadap masyarakat dari berbagai
golongan, usia, maupun berbagai instansi pendidikan. Yang diedukasi adalah
pengetahuan tentang gender, hukum dan HAM, penyimpangan seksual, dan dan
pengetahui lain yang relevan untuk mencegah seseorang melakukan tindakan
kekerasan seksual. Melalui edukasi, seseorang khususnya maka seseorang akan
mempertimbangkan apakah setiap tindakan yang ia lakukan berdampak baik atau
buruk bagi orang lain sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku.
Pentingnya Undang-undang (UU) sebagai kepastian hukum yang melindungi
perempuan dari kekerasan seksual dalam upaya pemerintah mencegah kekerasan
seksual. Jadi, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak segera dibuat, maka hal
tersebut sama saja dengan memupuk impunitas pelaku kekerasan dan menumbuh
suburkan praktik kekerasan seksual baik di ranah publik maupun personal,
khususnya kekerasan terhadap perempuan yang selama ini selalu menempati posisi
jumlah tertinggi sebagai korban kekerasan.
Oleh sebab itu, pentingnya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
sekiranya dapat menjadi harapan baru bagi masayarakat yang mendambakan
keterjaminan ruang aman perempuan dalam setiap ranah kehidupan. Perlahan namun
pasti diharapkan mampu memutus rantai kekerasan seksual yang selalui menghantui
kehidupan kaum perempuan.
Editor: Feni
Komentar
Posting Komentar