![]() |
Ngatiban (32), warga penggerak aksi tolak pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah.
Sumber : Elsya Rekavianti.
|
Rembang, LPM Reference - Isu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PT Semen Indonesia terkait pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah bukanlah hal baru. Aksi penolakan pembangunan pabrik semen tersebut juga sudah marak dilakukan di berbagai tempat sejak beberapa tahun terakhir, seperti di Kota Semarang dan DKI Jakarta, namun hingga saat ini masih belum membuahkan hasil. Nyatanya hingga saat ini pabrik semen yang berada di wilayah pegunungan Kendeng tersebut masih beroperasi. Akibatnya, banyak lingkungan yang terkena imbasnya, khususnya sekitar lahan tani warga Kendeng.
Dampak dari pembangunan pabrik semen tersebut tidak sebatas di lingkungan pabrik atau pegunungan yang dikeruk saja, namun juga berdampak pada wilayah lain seperti lahan pertanian di bawah pegunungan Kendeng yang terkena debu penambangan dan juga sumber mata air yang ada di bawah tanah. Bahkan karena kebutuhan pabrik tidak sebatas hanya di Kendeng, karena bahan baku yang dibutuhkan untuk mengoperasikan pabrik dan memproduksi semen seperti batu kapur, tanah liat, dan batu kwarsa diambil dari wilayah lain, pembangunan pabrik tersebut juga merusak wilayah lain, misalnya dari penambangan di Kalimantan.
Menurut Ngatiban selaku warga yang aktif melakukan gerakan aksi penolakan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, warga sudah berusaha mencari keadilan, bahkan sudah menuntut ke Gubernur Jawa Tengah dan Presiden Jokowi namun belum berjalan. Warga, khusunya kaum muda juga sudah mengupayakan menuntut keadilan, seperti meminta bantuan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Semarang untuk menangani kasus pelanggaran yang dilakukan PT Semen Indonesia.
![]() |
Plang di ujung jalan Pabrik Semen.
Sumber: dokumen pribadi.
|
“Butuh bukti baru untuk menggugat lagi, warga sudah menang dan seharusnya pabrik yang dibangun di tanah Perhutani itu berhenti. Itu pun masih bermasalah. Nyatanya hukum di Indonesia lemah. Padahal berdasarkan keputusan Mahkamah Agung pada 5 Oktober 2016 dan dimenangkan oleh warga.” Tutur pria berusia 34 tahun itu.
"Pabrik menggunakan AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan), sedang warga belum tau AMDAL. Maka mereka (warga) mencari tahu, dari pemerintah Desa hingga ke Semarang, dan belajar bareng-bareng seperti dengan Lembaga Bantuan Hukum. Menurut saya warga, khususnya kaum muda sudah cukup memahami bagaimana untuk menjalani. Yang diam saja dan mendukung itu karena mereka yang ikut terlibat atau bekerja di pabrik semen. Kalau mendengar isu, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dibayar untuk aksi pro pembangunan pabrik semen." lanjutnya.
Meskipun dukungan dari Kepala Desa tidak ada, warga Desa Tegaldowo tetap aktif dalam aksi penolakan pabrik semen. Selain Ngatiban, Sukinah adalah aktivis perempuan asal Desa Tegaldowo yang aktif dalam gerakan menolak pembangunan pabrik semen. Setiap kegiatan murni dari swadaya masyarakat yang mendukung penolakan Pabrik, misalnya yang dilakukan oleh ibu-ibu warga Desa Tegaldowo yang mengadakan arisan dan menyisihkan sebagian uangnya untuk disumbangan demi berjalannya aksi tersebut.
Harapan Ngatiban mewakili warga yang ada di wilayah Pegunungan Kendeng, Pemerintah seharusnya patuh dari surat keputusan MA, sehingga petani bisa bekerja dengan baik dan bertani dengan tenang. Untuk LBH Kota Semarang, harapan Ngatiban adalah semangatnya menemani warga harus diteruskan bersama warga selama pabrik belum berhenti. Untuk masyarakat, khususnya warga Kendeng, setiap waktu aksi harus ikut berkumpul. Tidak ada kata provokator, kita berani bergerak bersama.
Penulis: Rizky Agus Harnanto
Editor: Afief
Komentar
Posting Komentar