Oleh
: Luqman Sulistiyawan
Sejak Sekolah Dasar kita telah mengenal
apa yang dinamakan “Sejarah” dari guru atau pun dari buku-buku yang biasa kita
pelajari, harus kita akui bahwa sejarah adalah hal yang sangat vital bagi suatu
Negara, Sejarah memuat berbagai peristiwa yang terjadi pada suatu Negara, baik
yang bersifat kelam maupun yang bersifat elegan, yang nantinya dapat menjadi pelajaran dan pedoman bagi
generasi-genarasi berikutnya untuk membangun Negara itu sendiri, sebagai warga Indonesia seharusnya kita bangga karena Bangsa ini adalah Bangsa
yang penuh dan kaya akan Sejarah dimana para Pahlawan luarbiasa
muncul ditanah pribumi ini, namun sayangnya banyak warga Negara Indonesia
yang tidak mengenal dan paham tentang beberapa Pahlawan yang sebenarnya punya andil
besar terhadap Bangsa ini, hal yang sangat miris bagi seorang warga Negara dan
perlu ditanyakan dimanakah jiwaNasionalismenya.
Tapi
itu bukanlah suatu kesalahan mutlak yang dilakukan oleh individu melainkan didalamnya
juga terdapat kesalahan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan
khususnya yang bersifat formal, karena seperti kita tahu lembaga-lembaga
pendidikan formal hanya mengajarkan anak didiknya dengan buku-buku sejarah yang monoton, dimana
hanya membahas para Pahlawan yang dalam catatan para Penguasa dinilai baik
tanpa mempertimbangkan berbagai sudut pandang lain, itu disebabkan karena
sebagian pengajar hanya menyerap apa yang terdapat dalam buku kurikulum secara
textual tanpa ada keberanian untuk mengkritisi buku itu sendiri, sehinnga Pengajar
seakan menjadi robot yang dijalankan oleh Penguasa untuk mendoktrin anak
didiknya dengan kepalsuan Sejarah
Salah
satu Pahlawan yang menjadi korban kepalsuan sejarah adalah Tan Malaka, mungkin
bagi sebagian besar warga Indonesia masih asing dengan nama Tan Malaka, bahkan
ada juga yang menganggap beliau sebagai seorang pemberontak Negara yang sangat
berbahaya dan radikal, karena merupakan
pemikir dan filosof yang mengilhami pemikiran kiri (Komunis), padahal jika kita kaji lebih
dalam lagi sebenarnya Tan malaka adalah seorang founding father yang pertama kali yang menggagas secara tertulis
konsep tentang Indonesia sebagai Negara Republik. Ia telah menulis Naar de Republike Indonesia ( menuju
Republik Indonesia) pada tahun 1925, jauh lebih dulu dibandingkan Mohammad
Hatta yang telah menulis Indonesia Vrije (Indonesia
merdeka) pada tahun 1928 dan Bungkarno yang menulis Menuju Indonesia Merdeka pada tahun 1933 ( Kisah Tan Malaka Dari
Balik Penjara Dan Pangasingan, hal.15).
Perlu diketahui bahwa Tan Malaka bukanlah
seorang Komunis tapi beliau adalah seorang Nasionalis yang mengabdikan dirinya
hanya untuk Bangsa, bahkan beliau rela tidak menikah sepanjang hidupnya karena
keloyalitasiannya terhadap Bangsa dan sibuk membebaskan Bangsanya dari cakar
imperialisme asing. Beliau hanya mengilhami pemikiran ajaran Komunisme yang
tidak menghendaki sebuah penindasan kaum Kapitalis terhadap kaum Proletar, tapi
tidakmengilhami ajaran Komunis yang selama ini dikenal mengkesampingkan agama, sehingga tidak mengherankan kemudian
terjadi sebuah perselisihan antara beliau dengan Organisasi Komunis
Revolusioner Internasional (komintern) yang tidak menghendaki perananan agama
dalam sebuah Negara, sedangkan Tan Malaka menuntut perlu adanya peran agama
dalam Bernegara, seperti Pan-Islamisme yangmenjadikan
islam sebagai pedoman bagi segala kehidupan manusia dalam berbagai aspek,
karena problem itulah Tan Malaka akhirnya keluar dari organisasi tersebut
padahal saat itu beliau menjabat sebagai ketua komitern di Asia Tenggara, tapi
tekadnya sudah bulat untuk keluar dari komitern karena ia tidak ingin terjerumus
pada jurang Sekularisme dan Ateisme.
Tan Malaka memang dikenal sebagai tokoh
yang idealis dimana pendiriannya tidak mudah untuk diruntuhkan,salahsatunya
adalah saat beliau berseberangan pendapat dengan Soekarno dan Mohammad Hatta
mengenai strategi dalam menghadapi penjajahan Belanda di indonesia, dimana Soekarno-Hatta
dalam menyesaikan suatu permasalahan dengan Belanda cenderung memilih jalur
perundingan yang akhirnya merugikan indonesia sendiri, sedangkan menurut tan
malaka sebagai pemimpin Revolusi seharusnya soekarno-hatta bisa menkedepankan
sikap perlawanan gerilya ketimbang harus menyerah kepada Belanda di meja
perundingan, karena menurut beliau sikap gerilya tidak harus dilakukan melalui
perlawanan secara militer tetapi juga bisa dilakukan melalui jalur politik dan
ekonomi, hal ini kemudian menjadi dasar tan malaka untuk menolak tawaran Soekarno
serta tokoh-tokoh di kabinet Sjaahrir yang menawarinya untuk menjadi ketua
partai sosialis, karena ia tidak mau bekerjasama dengan orang-orang yang yang
masih mau bekerjasama dengan kaum imperialis yang selama ini menjadi musuh
utamanya, sehingga akhirnya beliau lebih memilih bergerak secara independen
dalam memperjuangkan kemerdekaan Bangsa, yang membuatnya tidak hanya di musuhi
oleh kaum imperialis saja tapi juga di musuhi oleh beberapa orang dari Bangsanya
sendiri, bahkan pada tahun 1948 beliau dianggap terlibat dalam penculikan Soetan
Sjahrir, hal itu didasarkan atas hubungan keduanya yang kurang harmonis dan
sering terjadi perselisihan pendapat.
meninggalnya beliau pun disebabkan oleh
idealismenya sendiri dimana ada yang menganggap Tan Malaka dibunuh karena
pidatonya yang menandaskan bahwa peran Soekarno-Hatta telah selesai, dan suatu
pemerintahan rakyat yang kuat harus dibentuk, sementara itu para pengikut tan
malaka mengagngap bahwa Presiden Republik Indonesia bukan lagi Soekarno tetapi
Tan Malaka, dan kemudian para pengikut Tan Malaka mengumumkannya melalui
berbagai pamflet (Tan Malaka Biografi Singkat, hal.163). sehingga tan malaka
saat itu menjadi seorang buronan dan harus meninggal ditangan militer bangsanya,
menurut Harry A. Poeze (ilmuan belanda yang menenmukan makam Tan Malaka)
eksekusi terhadap Tan Malaka tidak lepas dari perintah tak jelas yang dilakukan
oleh kolonel Soengkono seorang panglima yang menguasai pasukan se-Jawa timur ,
yang mengagap aktivitas tan malaka sangat berbahaya, peristiwa eksekusi ini terjadi
di dusun Selopanggang, Kabupaten Kediri pada tahun 1949.
Fenomena tersebut jelas menggambarkan
sebuah keironisan di Negeri kita ini, dimana seorang Pahlawan yang idealis
harus mengalami kehidupan yang begitu tragis. kini ia harus rela dilupakan putra-putra Bangsanya, setelah tertelan oleh
kebohongan dan rekayasa Sejarah
Komentar
Posting Komentar