Skip to main content

Sikap Hipokrit di Kehidupan Desa: Sisi Gelap KKN 1

 


Kehidupan desa seringkali diasosiasikan dengan kesederhanaan, kejujuran, dan kebersamaan yang mendalam antarwarganya. Gambaran ini menciptakan sebuah ilusi tentang kehidupan yang damai dan bebas dari konflik, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan perkotaan yang kompleks dan penuh dengan kompetisi. Namun, ketika kita menggali lebih dalam, muncul sebuah fenomena yang sering kali diabaikan namun memiliki dampak signifikan yakni hipokritisme dalam kehidupan desa.

Hipokritisme, atau perilaku yang tidak sesuai antara perkataan dan perbuatan seseorang, sebenarnya tidak terbatas pada kehidupan di kota besar atau lingkungan yang kompetitif. Di desa, fenomena ini seringkali lebih tersembunyi namun tetap ada dan berpengaruh. Ironisnya, justru karena keterbukaan dan kedekatan antarwarga yang tinggi, perilaku hipokrit menjadi lebih merusak, karena ketika seseorang yang dikenal dekat bersikap tidak tulus, dampaknya dapat menghancurkan rasa percaya dan kebersamaan yang menjadi fondasi utama masyarakat desa.

1. Hipokrit dalam Relasi Sosial dan Budaya Desa

Kehidupan di desa secara tradisional diatur oleh norma-norma sosial yang kuat, di mana setiap individu diharapkan untuk mematuhi dan menjalani peran yang telah ditentukan oleh komunitas. Dalam konteks ini, hipokrit muncul ketika seseorang menampilkan diri sebagai pemegang nilai-nilai desa yang luhur, seperti gotong royong, solidaritas, dan ketulusan, tetapi di balik layar, mereka justru melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.

Contoh nyata dari hipokrit di desa dapat dilihat dalam praktik gotong royong. Seseorang yang berpartisipasi dalam kegiatan bersama seperti membangun rumah, membersihkan lingkungan, atau membantu panen mungkin terlihat sangat antusias dan berdedikasi. Namun, di luar aktivitas tersebut, orang yang sama bisa jadi enggan membantu tetangga yang membutuhkan, atau bahkan memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadinya. Ketidaksesuaian antara tindakan publik dan niat pribadi ini menandakan adanya sikap hipokrit yang perlahan-lahan dapat merusak semangat gotong royong itu sendiri.

2. Pengaruh Ekonomi dan Persaingan Sosial

Faktor ekonomi dan persaingan sosial juga berperan dalam memicu munculnya hipokritisme di desa. Dalam masyarakat yang sederhana, perbedaan status sosial seringkali menjadi sumber ketegangan terselubung. Beberapa individu mungkin merasa tertekan untuk menunjukkan keberhasilan mereka melalui gaya hidup yang lebih mewah dibandingkan tetangga mereka, meskipun secara finansial hal tersebut tidak realistis. Mereka bisa saja berpura-pura dermawan dan peduli, namun pada kenyataannya, tindakan tersebut lebih didorong oleh keinginan untuk mempertahankan citra dan status mereka daripada niat tulus untuk membantu sesama.

Selain itu, persaingan dalam hal ekonomi dapat membuat seseorang mengadopsi sikap hipokrit sebagai mekanisme untuk bertahan. Di satu sisi, mereka mungkin mendukung usaha atau inisiatif bersama yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan desa. Namun, di sisi lain, mereka bisa saja menjalankan agenda tersembunyi yang lebih mementingkan keuntungan pribadi, meskipun hal itu merugikan masyarakat secara keseluruhan.

3. Peran Teknologi dan Media Sosial

Kehadiran teknologi dan media sosial di desa juga membawa dinamika baru dalam praktik hipokritisme. Di satu sisi, teknologi dapat memperkuat hubungan sosial dengan memungkinkan warga desa tetap terhubung meskipun terpisah oleh jarak. Namun, di sisi lain, media sosial juga membuka ruang bagi individu untuk menciptakan persona yang tidak sesuai dengan kenyataan. Melalui platform online, seseorang dapat menampilkan diri sebagai individu yang peduli dan aktif dalam berbagai kegiatan sosial, meskipun di kehidupan nyata, mereka tidak menunjukkan partisipasi yang sama.

Hal ini menciptakan ilusi tentang siapa mereka sebenarnya, dan pada akhirnya, masyarakat desa yang mengenal mereka hanya dari media sosial dapat tertipu oleh citra yang mereka tampilkan. Perilaku ini tidak hanya merusak kepercayaan, tetapi juga dapat menyebabkan konflik ketika realitas terungkap.

4. Dampak Jangka Panjang pada Kehidupan Desa

Dampak dari hipokritisme di desa tidak bisa dianggap sepele. Ketika kepercayaan di antara warga mulai terkikis, berbagai masalah sosial mulai muncul, seperti kurangnya solidaritas, peningkatan konflik, dan rusaknya tatanan sosial yang sebelumnya harmonis. Sikap saling curiga menjadi lebih dominan, yang pada akhirnya melemahkan ikatan sosial yang seharusnya menjadi ciri khas kehidupan desa.

Selain itu, hipokritisme juga dapat menyebabkan fragmentasi sosial di desa. Mereka yang merasa dikhianati oleh perilaku palsu mungkin akan menarik diri dari keterlibatan komunitas, memilih untuk menjaga jarak dengan tetangga, dan pada akhirnya, kehidupan sosial di desa menjadi lebih terpecah-pecah. Ini dapat mengakibatkan hilangnya rasa kebersamaan dan solidaritas yang menjadi dasar kehidupan desa, membuat desa kehilangan identitasnya sebagai komunitas yang kuat dan bersatu.

5. Mencari Solusi: Membangun Kejujuran dan Transparansi

Untuk mengatasi fenomena hipokritisme di desa, diperlukan upaya bersama untuk membangun kembali kejujuran dan transparansi dalam hubungan antarwarga. Edukasi mengenai pentingnya integritas dan dampak negatif dari perilaku hipokrit harus ditingkatkan. Masyarakat perlu didorong untuk lebih jujur dalam mengekspresikan diri dan untuk saling mendukung tanpa perlu berpura-pura.

Selain itu, menciptakan ruang dialog yang terbuka dan konstruktif dapat membantu dalam menyelesaikan konflik yang muncul akibat hipokritisme. Ketika warga merasa bahwa mereka dapat berbicara dengan jujur tanpa takut dihakimi, mereka akan lebih cenderung untuk menghindari perilaku hipokrit. Desa yang sehat adalah desa yang memungkinkan setiap individunya untuk menjadi diri mereka sendiri, di mana kejujuran dan keterbukaan menjadi nilai utama yang dijunjung tinggi.

Kesimpulan

Hipokritisme dalam kehidupan desa adalah fenomena yang berbahaya karena dapat merusak fondasi sosial yang menjadi kekuatan utama masyarakat desa. Meskipun dipicu oleh berbagai faktor seperti tekanan sosial, persaingan ekonomi, dan pengaruh teknologi, hipokritisme pada dasarnya adalah sebuah penyakit sosial yang dapat diatasi melalui pendidikan, dialog, dan upaya bersama untuk kembali pada nilai-nilai kejujuran dan ketulusan. Hanya dengan begitu, desa dapat mempertahankan identitasnya sebagai tempat yang damai, harmonis, dan penuh dengan rasa kebersamaan yang sejati.

 Daftar Pustaka 

1. Bourdieu, Pierre. (1986). "The Forms of Capital." In Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education, edited by John G. Richardson, 241–258. Greenwood.

2. Scott, James C. (1976). The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia. Yale University Press.

3. Putnam, Robert D. (2000). Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. Simon & Schuster.

4. Goffman, Erving. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. Anchor Books.

5. Chambers, Robert. (1983). Rural Development: Putting the Last First. Longman.

6. Fukuyama, Francis. (1995). Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. Free Press.

7. Coleman, James S. (1988). "Social Capital in the Creation of Human Capital." American Journal of Sociology 94(Supplement): S95-S120.

8. Uslaner, Eric M. (2002). The Moral Foundations of Trust. Cambridge University Press.


Penulis: Mohammad Nayaka Rama Yoga

Comments

Popular posts from this blog

Menengok Kembali Sejarah Perkembangan Gawai Dari Abad 19 Sampai Sekarang

Sumber foto: https://www.ngerangkum.com Memasuki abad ke-20 kehidupan manusia mulai disibukkan dengan berbagai macam perubahan yang terjadi secara evolusioner. Perubahan-perubahan tersebut terlihat mencolok pada aspek teknologi. Berbagai pembaruan dan kecanggihan teknologi dihadirkan dalam kehidupan manusia. Perlahan namun pasti, hadirnya teknologi mengubah hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Era saat ini juga bisa disebut dengan era digital, era di mana  aktivitas manusia bergantung pada teknologi. Lalu bagaimana bisa aktivitas manusia bergantung pada teknologi? Bahkan bisa dikatakan manusia tidak bisa lepas dari hal tersebut. Simpel sekali, sebut saja yang paling dekat dengan kehidupan manusia setiap harinya, yaitu gawai. Gawai atau nama lain dari gadget yang kemudian karena kecanggihan dan kepintarannya kita biasa menyebutnya dengan smartphone . Dari waktu ke waktu gawai telah mengalami perkembangan teknologi yang cukup signifikan. Jika dulu gawai hanya sebatas pengguna

Mic UKM-U KSMW Diduga Disabotase Pasca Ungkap Keburukan Birokrasi

LPM REFERENCE— Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas (UKM-U) Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) terjun ke Gedung Serba Guna di Kampus 3 UIN Walisongo Semarang untuk melakukan expo UKM-U (11/08/2024). KSMW menampilkan orasi yang disampaikan oleh Kamil di hadapan mahasiswa baru angkatan 2024. Dalam orasinya, Kamil mengungkapkan fakta-fakta terkait kondisi birokrasi kampus yang dinilainya buruk. "Kalian adalah sapi-sapi perah penghasil UKT," ujar Kamil dalam orasinya. Namun, sesaat setelah pernyataan tersebut, microphone yang digunakan Kamil tiba-tiba mati. Meskipun demikian, Kamil tetap melanjutkan orasinya dan kembali menjelaskan mengenai UKM-U KSMW. Ketika Kamil menyebut istilah "UIN Komersil," microphone yang digunakan kembali mati. Kejadian ini memunculkan kecurigaan di kalangan peserta, terutama karena sebelumnya UKM-U Kopma yang juga menyampaikan presentasi tidak mengalami kendala teknis apapun. Bahkan, ketika KSMW mencoba menggunakan tiga microphone yang b

SISI MISTIS GOA KREO, DALAM PANDANGAN MBAH SUMAR

   LPM REFERENCE -  Goa kreo merupakan tempat wiasata unik yang berada di Gunungpati, Semarang. Bagaimana tidak, sepanjang goa dan sekitar waduk jatibarang banyak kera yang berkeliaran secara liar yang menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Dibalik keunikannya ternyata terselip berbagai sejarah mistis yang diyakini masyarakat. Tak terkecuali untuk mbah Sumar juru kunci tempat wisata tersebut, minggu (30/04) ketika kru Reference bertemu dengannya, ia menjelaskan bahwa goa kreo masih keramat dan sakral. Dulunya merupakan peninggalan Sunan Kalijaga, dimana saat Sunan Kalijaga mencari kayu jati untuk masjid agung Demak, kayu jatinya tersangkut disungai sebuah hutan. kemudian Sunan Kalijaga bersemedi dan meminta pertolongan pada Allah sehingga dikirimkan empat kera yang berwarna merah, kuning, putih dan hitam. keempat kera itulah membawakan kayu jati tersebut sampai ke Demak.  Menurut mbah Sumar keempat kera tersebut ghoib dan masing masing warna   tersebut mempunyai fi