Skip to main content

FENOMENA PANTANGAN NGALOR-NGETAN DITINJAU DARI SUDUT PANDANG AGAMA DAN KEBUDAYAAN

Sumber foto: Ilustrasi pernikahan (freepik.com)

Di zaman yang serba maju seperti sekarang, ternyata masih terdapat sebuah kebudayaan yang masih diwariskan hingga sekarang. Salah satu contoh kebudayaannya adalah berbagai pantangan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Pantangan merupakan suatu hal yang lebih baik dihindari agar tidak menimbulkan musibah yang tidak diinginkan. Lain daerah, lain juga pantangan yang dipercaya oleh masyarakat setempat. 

Tulisan ini akan membahas mengenai salah satu pantangan pernikahan yang terdapat di Kabupaten Grobogan, yaitu pantangan pernikahan Ngalor-Ngetan. Pantangan pernikahan Ngalor-Ngetan merupakan pantangan pernikahan ketika calon mempelai wanita bertempat tinggal di sebelah barat dari calon mempelai pria atau sebaliknya. Fenomena ini sangat perlu untuk dibahas karena kita perlu meninjau fenomena ini dari sudut pandang agama maupun kebudayaan itu sendiri.

Pantangan pernikahan Ngalor-Ngetan sudah sejak lama dipercaya masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal di Kabupaten Grobogan. Sebelum memasuki jenjang pernikahan, pada umumnya masyarakat menghitung weton calon mempelai dan juga melihat arah rumah calon mempelai. Jika calon mempelai diketahui memiliki arah rumah yang mengarah Ngalor-Ngetan, maka calon mempelai biasanya memilih untuk berpisah daripada nantinya terjadi marabahaya yang tidak diinginkan. Sebenarnya, tidak semua masyarakat masih mempercayai pantangan ini melainkan hanya sebagian masyarakat saja yang masih mempercayainya. Namun, kebanyakan orang tua masih menganut pantangan ini. 

Alasan mereka masih menganut pantangan ini dikarenakan mereka mempercayai bahwa hal tersebut sudah ada sejak lama dan turun-temurun. Selain itu, mereka menyebut ternyata kejadian musibah yang menimpa seseorang yang melanggar pantangan tersebut benar adanya. Salah satu narasumber mengatakan memang pernah terjadi suatu kejadian yang menimpa pengantin yang tetap melakukan pernikahannya, walaupun arah rumah mereka Ngalor-Ngetan.  Akhirnya, salah satu orang tua dari pengantin perempuan meninggal dunia. Bagi orang awam, mungkin penyebab meninggalnya orang tua dari pengantin Perempuan tersebut bisa terjadi karena faktor usia atau memang memiliki penyakit. Tetapi, bagi orang yang masih mempercayai pantangan Ngalor-Ngetan, hal tersebut memiliki keterkaitan. 

Dalam suatu masyarakat, agama dan kebudayaan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Pantangan Ngalor-Ngetan akan dikaji berdasarkan sudut pandang dari agama ataupun kebudayaan itu sendiri. Menurut sudut pandang dari agama, tidak ada ayat di Al-Qur’an maupun Hadist yang menerangkan mengenai pantangan Ngalor-Ngetan itu sendiri.

Dalam Islam juga sudah dijelaskan syarat-syarat pernikahan dan tidak terdapat juga yang menyinggung mengenai pantangan ini. Agama tidak melarang adanya pernikahan Ngalor-Ngetan, agama membebaskannya asalkan pernikahan sesuai dengan syariat. 

Berbeda dari sudut pandang agama, sudut pandang kebudayaan memandang bahwa pantangan Ngalor-Ngetan merupakan suatu tradisi yang diwariskan turun temurun. Hal tersebut menjadi salah satu hal yang melekat di suatu masyarakat. Masyarakat ingin selalu melestarikan adat yang sudah ada sejak lama. Mereka tidak mau melanggarnya karena takut akan musibah yang bisa saja datang menimpa. Cerita pengalaman dari orang-orang yang pernah melanggar pantangan tersebut juga menjadikan Masyarakat semakin yakin bahwa pantangan tersebut benar-benar ada. Dalam kebudayaan, pantangan ini juga dijadikan pedoman untuk melangsungkan suatu pernikahan. Masyarakat akan secara teliti untuk mengetahui arah rumah pasangan yang akan menikah. 

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa antara agama dan kebudayaan mempunyai pandangan tersendiri dalam melihat fenomena pantangan pernikahan Ngalor-Ngetan ini. Pada akhirnya, semua keputusan yang diambil akan dikembalikan kepada setiap individu dalam mengambil sudut pandang. Jika pantangan ini masih banyak yang mempercayainya dalam suatu masyarakat, maka pantangan ini juga akan lestari hingga di masa yang akan datang.

Penulis: Amelia Yossyi Syafitri
Redaktur: Farah Nabila

Comments

Popular posts from this blog

Kecewa UKT Mahal, MABA FISIP Gelar Unjuk Rasa di Depan WR 3

      http://www.lpmreference.com Hari terakhir PBAK (Pengenalan Budaya Akademik Kemahasiswaan) menjadi momentum Mahasiswa baru (Maba) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) untuk unjuk rasa terkait mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Realisasi Program Ma'had tepat di depan Wakil Rektor 3, Minggu 6 Agustus 2023. Aksi yang bertempat di depan Land Mark Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang tersebut di latar belakangi atas ketidakkepuasan MABA FISIP tentang UKT yang begitu mahal, UKT yang tidak tepat sasaran dan Realisasi Program Ma'had yang masih jauh dari kata memuaskan untuk para MABA. Massa Aksi membentangkan spanduk yang bertuliskan "Tolak Komersialisasi Pendidikan, Tolong Kami", "Regulasi Ma'had ugal-ugalan pelan-pelan pak Rektor". Aksi yang berlangsung pada pukul 17.20 WIB, secara kebetulan tepat berada di depan Wakil Rektor 3 yaitu  Achmad Arief Budiman dan disaksikan oleh nya secara langsung. "Mari kita kawal bersama adek-adek

Kampus UIN Walisongo disebut Anti Kritik, Begini Tanggapan Mahasiswa Baru Sosiologi 2023

      http://www.lpmreference.com Kampus UIN Walisongo Semarang disebut anti kritik, hal ini diungkapkan  mahasiswa baru Sosiologi angkatan 2023. Baru-baru ini, pada pelaksanaan hari pertama PBAK terpantau ada spanduk yang terpasang di sekitar gedung FISIP UIN Walisongo Semarang diturunkan oleh pihak kampus. Spanduk tersebut berisi kritik terhadap kebijakan kampus seperti isu UKT, isu ma'had, komersialisasi pendidikan dan sebagainya.  "Bahwa pihak kampus telah membatasi ruang kebebasan ekspresi untuk mahasiswa menyuarakan suaranya." Padahal kampus seharusnya menjadi tempat pendidikan yang merdeka bagi para Mahasiswa, " ungkap Kia Mahasiswa Baru Sosiologi 2023.  Menurut Kia, bahwa adanya sebuah kritik justru akan membuat kampus menjadi lebih baik. Bukan malah dibungkam seperti itu.  Sementara itu, Gibran, Mahasiswa baru Sosiologi 2023 mengatakan bahwa isu ma'had merupakan hal yang paling krusial dan patut kita kawal bersama-sama. Namun tidak pernah  mendapatkan pe

Fenomena Bahasa Campur-Campur ala “Anak Jaksel”

Gambar 1.1. Contoh meme yang membahas karakteristik “anak Jaksel”. Belakangan ini media sosial seperti Twitter dan Instagram ramai menyinggung fenomena tentang bentuk komunikasi yang terkenal kerap menyisipkan bahasa Inggris di dalam percakapan bahasa Indonesia. Cara bicara tersebut dianggap sebagai gaya bahasa anak-anak yang tinggal di Jakarta Selatan atau biasa disebut “a nak Jaksel ” . Kata yang umum dipakai antara lain adalah which is (yang), literally (secara harfiah), at least (minimal), even (bahkan), dan lain-lain. Gaya bahasa tersebut pun makin populer karena banyak selebrit as , pegiat Twitter, pegiat Instagram, dan pegiat Youtube atau video bloger juga menggunakan gaya bahasa tersebut dalam konten-konten yang mereka buat, sehingga makin marak diperbincangkan di kalangan warganet , yakni seseorang yang aktif mengakses internet, khususnya media sosial dalam kesehariannya. Mengutip tulisan tirto.id berjudul Gaya Bahasa ala “ A nak Jaksel” di Kalangan Pejabat