Bangun tidur sebelum fajar menyingsing, sarapan, dan mandi pagi adalah kegiatan yang asing bagi seorang mahasiswa. Terlebih lagi bagi mereka yang memilih jalan sebagai aktivis. Kenapa bisa disebut dengan kegiatan yang asing? Karena dunia aktivis baru dimulai saat matahari terbenam atau dapat disebut juga malam hari.
Perjuangan mereka di mulai pada malam hari dengan melakukan diskusi dan merancang strategi untuk memperjuangkan hak hidup masyarakat yang sedang tertindas. Kegiatan seperti pengorganisasian masyarakat, pendidikan advokasi, dan analisis sosial adalah makanan pokok sehari-hari yang wajib mereka santap. Ini mereka lakukan dari mulai terbenamnya matahari sampai menjelang matahari muncul.
Pertanyaan yang akan biasanya muncul dalam benak pikiran orang awam adalah mengapa para aktivis ini sangat aktif berkegiatan hingga larut malam bahkan sampai pagi? Jawaban yang pertama adalah waktu luang yang tersedia bagi para aktivis adalah malam hari. Saat pagi hingga sore, mereka disibukkan dengan aktivitas yang lain, seperti belajar di kampus.
Jawaban yang kedua adalah permasalahan keamanan diri. Tidak dapat dipungkiri, dalam memperjuangkan keadilan masyarakat yang tertindas, tidak sedikit memakan korban jiwa akibat bocornya strategi. Salah satu antisipasi supaya mengurangi resiko tersebut adalah dengan mengadakan kegiatan kegiatan perjuangan di malam hari, di mana kebanyakan manusia termasuk lawan yang dihadapi tidur dengan pulasnya.
Sekarang kita akan masuk ke dalam bagian inti tesis ini. Bagaimana culture shock yang terjadi di kalangan mahasiswa aktivis saat mereka melakukan magang terutama di instansi pemerintahan? Sebelum masuk dalam pembahasan tersebut, perlu untuk memahami konsep dasar dari culture shock itu sendiri.
Referensi
Macionis, John, and Linda Gerber. "Chapter 3 - Culture." Sociology. 7th edition ed. Toronto, ON: Pearson Canada Inc., 2010. 54. Print
Penulis : Mohammad Nayaka Rama Yoga
Comments
Post a Comment