pict:https://bit.ly/40ESA94
" Loser"
Deg!
Amarahku membuncah mendengar kalimat yang dikatakan musuhku. Tio merupakan musuh bebuyutanku disekolah, kita sering berlomba-lomba untuk menjadi nomer satu. Dan aku Kenzi Virendra pemegang gelar pararel nomer satu disekolah yang kini gelar itu telah tergeserkan oleh tio musuhku.
Rasa marah dan kecewa mendominasi relung hatiku.
Kenapa?
Kenapa hal ini harus terjadi padaku?
Semua pertanyaan itu terus berputar di otakku dan semakin meningkat rasa kecewaku. Kecewa, tapi kepada siapa? Semua itu terjadi karena diriku sendiri.
Srek!
Kutarik tas yang berada di meja sekolah lalu ku sampirkan di punggungku. Setiap langkah yang kuambil terasa berat dan menyesakkan di dada. Walau berat, ku paksakan kakiku untuk menuju suatu tujuan yaitu rumahku. Aku tahu akan ada suatu hal yang menungguku.
Cklek!
"Assalamualaikum" Ku ucapkan salam sembari tetap berdiri di depan pintu yang tadi ku buka.
Tap tap tap
Suara langkah kaki terdengar seiring dengan cepatnya detak jantungku. Keringat dingin mulai membasahi tubuhku.
Bugh!
Kepalaku tertoleh secara paksa dengan rasa sakit yang mulai menjalar di pipi kiriku.
"Memalukan!"
"Apa yang kamu lakukan Kenzi Virendra!"
"Kamu mempermalukan ayah didepan Darso!"
Kupegang pipi kiriku yang terasa kebas sambil menoleh ke arah Ayahku. Ya, orang yang sedang memarahi dan memukulku itu adalah Ayahku. Lebih tepatnya adalah Ayah kandungku sendiri. Dan Darso yang Ayahku sebut adalah Ayah dari Tio yang juga merupakan musuh dari Ayahku dan berlanjut hingga Aku dan Tio yang merupakan anak mereka. Rasa sesal tak bisa kutampik sembari satu tanganku terkepal disamping badanku.
"Mas!"
Ibuku berteriak sambil berjalan cepat menuju ayahku. Tangan kanannya sontak memegang tangan Ayahku agar tidak bertindak lebih jauh lagi.
"Maaf"
Satu kata yang keluar dari mulutku menggambarkan rasa sesalku. Maaf karena sudah mengecewakan Ayah dan Ibu, maaf karena tidak bisa menjadi yang terbaik, dan maaf karena mempermalukan Ayahku.
Srek!
Kurasakan tubuhku tertarik paksa kedalam rumah. Tanganku memerah pertanda kuatnya genggaman tangan Ayahku ditanganku. Rupanya Ibuku tak berhasil menghentikan kemarahan Ayahku.
Brak!
Cklek! Cklek!
"Mulai hari ini kamu dilarang keluar rumah selain ke sekolah!" Teriak Ayah dari balik pintu.
Aku yang telah ditarik paksa didalam kamar hanya bisa tercenung memandang pintu yang telah dikunci dari luar. Mataku memanas dan kembali kurasakan panasnya tamparan dipipiku. Sebisa mungkin kutahan air mata yang akan luruh dari kedua bola mataku.
Ini yang tidak aku suka. Rumah yang menjadi tempatku berlindung ini ternyata tak sepenuhnya melindungiku. Orangtua yang seharusnya menyayangiku dengan sepenuh hati malah menjadi orang yang menggoreskan luka dihatiku. Ayah yang harusnya menjadi Super Hero bagiku malah menjadi orang yang melukai dan menjadi bayangan ketakutanku. Tekanan demi tekanan telah aku rasakan selama 2 tahun masa SMA ku. Semuanya berubah dan menjadi lebih menyesakkan.
Andai bisa, kan kuputar waktu menuju masa kecilku. Masa-masa yang menyenangkan, bebas dan tanpa beban. Andai bisa, kan kutukar seluruh yang kupunya untuk menuju masa itu.
"Hiks! hiks!, sakit." Tangisku yang terjatuh dari sepeda.
"It's okey, jagoan Ayah sangat kuat. Jangan menangis" Kata Ayah sambil menenangkanku.
"Ta-tapi Zie, hiks! tidak bisa naik sepeda" Aku yang berumur 5 tahun berkata sambil menangis setelah jatuh saat berlatih sepeda.
"Zie akan bisa, hanya butuh lebih banyak usaha dan Zie akan bisa naik sepeda dengan baik" kata Ayah.
" Benarkah? Zie akan bisa naik sepeda Ayah?" Kataku setelah menghentikan tangisku.
"Benar. Zie jagoan Ayah yang hebat akan bisa naik sepeda" kata Ayahku membenarkan.
"Jadi Zie harus bangun dan jangan menangis. Okey?" lanjut Ayah.
"Okey Ayah!" Seruku semangat.
Cklek!
Suara gagang pintu membuyarkan lamunanku. Kupandang gagang pintu yang berputar. Tampaklah sosok Ibuku dari balik pintu. Kulihat di kedua tangannya terdapat baskom kecil dan sapu tangan.
"Zie kamu tidak apa-apa nak?" Tanya ibu sambil masuk.
Sebelah tangannya mengambil tanganku dangan lembut, dibawanya aku duduk ditepian kasur. Diletakkannya baskom yang dibawanya dipangkunya. Dicelupnya sapu tangan itu kedalam baskom dan ditempelkannya kepipiku.
"Nak kamu baik-baik saja?" Ibu kembali bertanya setelah pertanyaannya tadi tidak kujawab.
Aku tetap diam tidak membuka mulutku. Rasanya berat walau hanya sekedar membuka mulut. Jika itu dilain waktu mungkin aku akan merasa sangat berdosa tidak menjawab pertanyaan ibuku. Tapi kali ini akal sehat dan logikaku sedang kacau. Ini tidak sejalan dengan diriku yang biasanya.
"Zie kamu sudah melakukan yang terbaik. Walau kamu tidak menjadi yang pertama, ibu tetap bangga padamu nak" Kata Ibu dengan lembut.
"Benarkah bu?" Tanyaku lirih sambil memandangi wajah cantik Ibuku yang telah termakan usia. Kupandang wajah Ibuku yang mengurangi kegundahan dihatiku. Seperti biasa, ibu adalah obat terampuh bagiku. Kurasakan tarikan dari tangan yang mengopres lukaku lembut.
"Benar nak, apapun hasil yang kamu peroleh Ibu tetap bangga padamu. Zie sudah berusaha semaksimal mungkin dan Ibu sangat menghargai kerja keras Zie selama ini" kata Ibu sambil melanjutkan mengompres lukaku.
"Tapi kenapa Ayah tidak bu?"
"Kenapa Ayah selalu menuntutku untuk menjadi yang terbaik dan marah saat aku tidak bisa memenuhi keinginannya? Kenapa bu?" Tanya beruntut.
Kembali ibu menarik tangannya dari wajahku tapi kali ini tangannya berganti menyentuh tanganku. Kurasakan rematan lembut dari kedua tangannya seolah menguatkanku.
"Zie maafkan Ayahmu. Itu semua untuk kebaikanmu" Jawab ibu. Jawaban Ibu tidak membuatku puas dan malah menyulut sedikit emosiku.
"Demi kebaikanku? Kebaikan yang mana?!" Sentakku. Lagi-lagi akal sehatku menghilang sehingga aku bisa membentak Ibuku.
"Zie tenang nak. Ibu tau Ayahmu telah salah dengan memukulmu. Tapi Ayahmu punya alasan untuk itu" kata ibu menenangkan. Ibu memaklumi keadaanku.
"Ayahmu mungkin salah dan dia menyesal telah memukulmu. Maafkan Ayahmu Zie..."
"Kamu tahu nak? Ayah memaksamu menjadi yang pertama agar kamu tidak menjadi sepertinya yang terus-terusan diremehkan oleh musuhnya. Dia tidak mau itu terjadi padamu nak" lanjut ibu.
"Tapi bu, kalau memang itu untuk kebaikanku kenapa Ayah terlihat tidak menghargai kerja kerasku?"
"Dan ini, tamparan ini membuktikan semuanya" ucapku membantah.
"Sabar nak, mungkin saat ini hati Ayahmu sedang tertutup. Berdoalah kepada tuhan agar membukakan pintu hatinya untukmu" jawab Ibu.
"Kamu tau ‘Siuuu’ nak?" Lanjut ibu sembari bertanya.
"Siuuu Ronaldo bu?"
"Hahaha, bukan. Bukan itu yang ibu maksud" jawab ibu sambil tertawa.
"’Siuuu’ Terdiri dari beberapa kata. (S)abar, (I)khlas, (U)saha, (U)saha lagi,dan (U)saha terus"
"Jangan terlalu sedih atas kegagalanmu nak. Kamu harus ikhlas dan sabar saat kamu menemukan kegagalan. Dan yang paling penting jangan lupa untuk terus berusaha. Kegagalan merupakan jalan menunju kesuksesan. Setiap orang sukses tentu akan merasakan saat-saat kegagalan tapi, orang sukses akan bangkit dan belajar dadi kegagalan yang telah dialaminya" terang Ibu.
"Apakah aku bisa bu?" Tanyaku ragu.
"Pasti bisa, putra Ibu ini harus berani!" Ucap Ibu menyemangati.
Tak lama ibu bangkit dan pergi lalu menutup pintu kamarku. Aku termenung memikirkan kata-kata yang Ibu ucapkan. Benar, aku harus sabar dan ikhlas. Akan ku jadikan kegagalan yang kualami saat ini sebagai pengalaman mencapai keinginanku.
Semangatku bangkit, jiwa pejuang mulai menggelora di dadaku. Ya, ini yang aku butuhkan. ‘Siuuu’ satu kata itu memberi banyak dampak positif bagiku. Kutanamkan kata itu di hatiku sebagai penyemangat hari-hariku.
Lembaran baru akan kubuka dengan kata ‘Siuuu’.
Penulis: Amelinda
Comments
Post a Comment