Skip to main content

Strategi menghadapi pandemi di Desa Planggu, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten dengan Tradisi Jimpitan

https://yoursay.suara.com/amp/kolom/2021/07/06/074854/jimpitan-kearifan-lokal-pendorong-solidaritas-masyarakat-indonesia

Pandemi Covid-19 yang menggemparkan seantero dunia telah menerjang berbagai aspek kehidupan di masyarakat, terutama di bidang kesehatan yang mengakibatkan dampak laten berupa timbulnya masalah-masalah sosial dan ekonomi. 

Berbagai spekulasi timbul di awal pandemi Covid-19. Ada yang menyebutkan terutama dari kalangan Agamawan bahwa pandemi ini adalah teguran dari Tuhan atas keserakahan manusia. Yang paling ekstrim adalah "ini adalah azab dari yang Maha Kuasa". Hal tersebut dikemukakan oleh mereka karena muncul berbagai macam penyimpanan sosial di masyarakat seperti LGBT, korupsi, narkoba dan lain sebagainya. Ada juga dari kalangan penyuka teori konspirasi yang mengatakan bahwa "ini adalah konspirasi elite global yang ingin menguasai dunia dengan menciptakan virus ini dan memusnahkan sebagian penduduk dunia”.

Entah apapun alasannya, mengenai pandemi ini buatan atau memang alami atau apalah itu dampak dari pandemi ini sangatlah nyata. Tidak ada yang menyangkal bahwa pandemi ini menurunkan aktivitas ekonomi di masyarakat. Daya beli turun, berkurangnya interaksi sosial, dan bermacam-macam masalah yang ditimbulkan oleh makhluk ciptaan Tuhan yang bernama Covid-19 ini.

Termasuk daerah yang terdampak dengan pandemi ini di Indonesia adalah di Dukuh Planggu, Desa Planggu, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Di dukuh atau yang biasa disebut Rukun Warga tersebut, mereka memiliki sebuah strategi sederhana yang diterapkan untuk menghadapi dampak pandemi Covid-19 ini. Strategi tersebut adalah dengan menggunakan "Jimpitan". 

Istilah Jimpitan berasal dari kata “jimpit” yang dalam kamus Bausastra Jawa (2006) berarti “wilonganing barang lembut nganggo pucuking driji” atau mengambil barang lembut/kecil dengan menggunakan ujung jari. Sedangkan “jimpitan” dalam istilah yang lebih konkret berarti “beras kang diklumpukake saka warga kanggo ragad pakumpulan desa” atau Beras yang dikumpulkan oleh warga untuk perkumpulan desa.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) jimpitan berarti sumbangan berupa beras sejimpit yang dikumpulkan secara beramai-ramai. Jimpitan adalah sejumlah barang bisa berupa uang atau beras, ketan yang dimasukkan pada sebuah wadah kecil seukuran gelas atau cangkir yang dikaitkan pada pagar rumah.  

Jimpitan yang dilakukan di dukuh Planggu sudah menjadi tradisi yang dilakukan dari tahun ke tahun. Caranya adalah seperti yang dituturkan pak Ngadiyo selaku kepala dukuh "Setiap hari akan ada petugas yang berkeliling ke rumah warga untuk meminta Jimpitan berupa uang 500 rupiah dari setiap keluarga. Nantinya uang yang terkumpul akan digunakan untuk berbagai hal seperti pembangunan infrastruktur, lumbung padi, menyantuni orang yang sakit, dan kegiatan sosial lainnya."
Dari penuturan Pak Ngadiyo juga beliau berkata bahwa "Di saat pandemi, kami berhasil bertahan dengan menggunakan tradisi jimpitan ini. Ada yang memberikan Jimpitan berupa uang, sembako, dan bantuan lainnya. Jadi masyarakat disini saling membantu. Terlebih lagi di sini mayoritas bekerja sebagai petani. Jadi untuk permasalahan pangan dapat dipastikan pasti aman, nyaman, dan sentosa."

Melalui sistem Jimpitan ini, dapat disimpulkan bahwa tingkat solidaritas yang ada di desa terbilang tinggi, dibandingkan dengan solidaritas antara masyarakat perkotaan. Ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Emile Durkheim mengenai Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik. Tipe solidaritas yang ada di desa sesuai dengan solidaritas mekanik, yakni solidaritas yang biasanya terjadi di pedesaan.

Masyarakat yang di karakterisasikan oleh solidaritas mekanis di persatukan karena semua orang adalah sama. Ikatan di antara orang-orang adalah bahwa mereka semua terlibat dalam kegiatan serupa dan memiliki tanggungjawab yang sama. Contoh nyata di dukuh Planggu adalah rata rata orang disana bekerja sebagai buruh tani. Mereka memiliki nurani kolektif yang kuat, sehingga sering bergotong royong membantu sesama.

Semoga dengan mengetahui adanya sebuah tradisi "Jimpitan" ini, kita dapat mengambil hikmah dan semakin meningkatkan rasa empati antar sesama manusia. Manusia yang pada dasarnya memiliki akal juga harus memiliki Budi pekerti yang mulia. Hanya dengan memadukan antara unsur rasional dan intuitif kita bisa menjadi insan yang mulia dihadapan Tuhan. 

Semoga Allah memberikan Rahmat pada kita semua yang telah meluangkan waktu membaca dan memahami tanda tanda kekuasaan nya, termasuk tulisan ini adalah bagian dari ciptaan-Nya.

Penulis : Muhammad Nayaka Rama Yoga
Redaktur: Ayu Nindika

Comments

Popular posts from this blog

Menengok Kembali Sejarah Perkembangan Gawai Dari Abad 19 Sampai Sekarang

Sumber foto: https://www.ngerangkum.com Memasuki abad ke-20 kehidupan manusia mulai disibukkan dengan berbagai macam perubahan yang terjadi secara evolusioner. Perubahan-perubahan tersebut terlihat mencolok pada aspek teknologi. Berbagai pembaruan dan kecanggihan teknologi dihadirkan dalam kehidupan manusia. Perlahan namun pasti, hadirnya teknologi mengubah hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Era saat ini juga bisa disebut dengan era digital, era di mana  aktivitas manusia bergantung pada teknologi. Lalu bagaimana bisa aktivitas manusia bergantung pada teknologi? Bahkan bisa dikatakan manusia tidak bisa lepas dari hal tersebut. Simpel sekali, sebut saja yang paling dekat dengan kehidupan manusia setiap harinya, yaitu gawai. Gawai atau nama lain dari gadget yang kemudian karena kecanggihan dan kepintarannya kita biasa menyebutnya dengan smartphone . Dari waktu ke waktu gawai telah mengalami perkembangan teknologi yang cukup signifikan. Jika dulu gawai hanya sebatas pengguna

Mic UKM-U KSMW Diduga Disabotase Pasca Ungkap Keburukan Birokrasi

LPM REFERENCE— Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas (UKM-U) Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) terjun ke Gedung Serba Guna di Kampus 3 UIN Walisongo Semarang untuk melakukan expo UKM-U (11/08/2024). KSMW menampilkan orasi yang disampaikan oleh Kamil di hadapan mahasiswa baru angkatan 2024. Dalam orasinya, Kamil mengungkapkan fakta-fakta terkait kondisi birokrasi kampus yang dinilainya buruk. "Kalian adalah sapi-sapi perah penghasil UKT," ujar Kamil dalam orasinya. Namun, sesaat setelah pernyataan tersebut, microphone yang digunakan Kamil tiba-tiba mati. Meskipun demikian, Kamil tetap melanjutkan orasinya dan kembali menjelaskan mengenai UKM-U KSMW. Ketika Kamil menyebut istilah "UIN Komersil," microphone yang digunakan kembali mati. Kejadian ini memunculkan kecurigaan di kalangan peserta, terutama karena sebelumnya UKM-U Kopma yang juga menyampaikan presentasi tidak mengalami kendala teknis apapun. Bahkan, ketika KSMW mencoba menggunakan tiga microphone yang b

Fenomena Bahasa Campur-Campur ala “Anak Jaksel”

Gambar 1.1. Contoh meme yang membahas karakteristik “anak Jaksel”. Belakangan ini media sosial seperti Twitter dan Instagram ramai menyinggung fenomena tentang bentuk komunikasi yang terkenal kerap menyisipkan bahasa Inggris di dalam percakapan bahasa Indonesia. Cara bicara tersebut dianggap sebagai gaya bahasa anak-anak yang tinggal di Jakarta Selatan atau biasa disebut “a nak Jaksel ” . Kata yang umum dipakai antara lain adalah which is (yang), literally (secara harfiah), at least (minimal), even (bahkan), dan lain-lain. Gaya bahasa tersebut pun makin populer karena banyak selebrit as , pegiat Twitter, pegiat Instagram, dan pegiat Youtube atau video bloger juga menggunakan gaya bahasa tersebut dalam konten-konten yang mereka buat, sehingga makin marak diperbincangkan di kalangan warganet , yakni seseorang yang aktif mengakses internet, khususnya media sosial dalam kesehariannya. Mengutip tulisan tirto.id berjudul Gaya Bahasa ala “ A nak Jaksel” di Kalangan Pejabat