Perpanjangan PPKM (lagi) Bersamaan dengan 1 Suro dalam Budaya Masyarakat Jawa, Dosen FISIP UIN Walisongo, Ahwan Fanani : Itu Ajaran Ikhtiar Kausalitas
Tradisi kirab pusaka malam 1 Suro di pendopo Istana Pura Mangkunegaran (Foto: Okezone.com) |
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) akibat wabah Covid-19 belum usai dan resmi diperpanjang lagi pada Senin, 9 Agustus 2021 yang bertepatan dengan Malam 1 Suro. Sedangkan Tahun Baru Islam 1443 H jatuh pada 10 Agustus 2021.
Wabah Covid-19 mendorong lahirnya kebijakan pembatasan pergerakan manusia, baik dalam wujud PSBB maupun PPKM. Kebijakan PPKM diambil untuk mengurangi interaksi warga secara intensif dan dalam jumlah yang besar sehingga diharapkan dapat mengurangi penularan virus covid-19. Upaya PPKM merupakan hal yang wajar saja sebagai bentuk ikhtiar kausalitas untuk mengendalikan wabah.
Dr. Ahwan Fanani, M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah Islam dan Budaya Jawa mengatakan, bahwa 1 Suro atau 1 Muharram menurut tahun Jawa menandai awal tahun dalam Penanggalan Jawa. Penanggalan Jawa ditetapkan oleh Sultan Agung dengan mengubah tahun Saka yang berbasis perjalanan matahari (Syamsiyah) menjadi tahun Jawa yang berbasis pada perjalanan Rembulan (Qamariyah) pada tahun 1555 J (melanjutkan tahun Saka) atau Tahun 1043 H atau 1633 M. Tahun Saka sendiri dimulai pada tahun 78 Masehi. Karena perubahan itu, jarak tahun Jawa dengan tahun Masehi berkurang 1 tahun setiap 31 tahun. 1 Suro tahun 2021 telah masuk pada tahun 1955 tahun Jawa dan 1443 Hijriyah. Peringatan 1 Suro di kalangan masyarakat sendiri merupakan bentuk akulturasi Islam dengan budaya Jawa. Peringatan 1 Suro diekspresikan secara berbeda oleh masyarakat saat ini, menurut beberapa latar belakang masyarakat, di antaranya:
Pertama, masyarakat yang lebih kuat kecenderungan kebatinannya maka akan mencari tempat-tempat perenungan di pusat-pusat kekuatan alam, seperti sungai, gunung, dan tempat-tempat keramat. Peringatan 1 Suro menjadi ajang perenungan, mawas diri, dan penyatuan dengan kekuatan kosmik serta upaya menghindari marabahaya. Nuansa keyakinan pada kekuatan alam dan kesatuannya dengan jiwa manusia lebih terasa. Pada bulan Suro keris-keris dicuci dan diberi warangan sehingga selalu bersih dan wangi. Di Kasunanan diadakan peringatan 1 Suro dengan mengarak kebo bule setelah sebelumnya dilakukan doa di Masjid Agung.
Kedua, pada masyarakat yang lebih kuat kecenderungan santrinya memaknai 1 Suro adalah 1 Muharam, sebagai mula tahun Islam. Peringatan 1 Muharam ditandai dengan pengajian dan zikir di masjid. 1 Muharam mengingatkan kepada peristiwa Hijrah Nabi Muhammad dari Makah ke Madinah pada tahun 622 Masehi. Hijrah bisa dimaknai sebagai perpindahan dari satu tempat ke tempat lain dan bisa juga dimaknai sebagai perbaikan diri dari perilaku yang tidak sesuai ajaran agama menuju kepada terang ajaran agama. Hijrah ini adalah bergeser dari kemusyrikan menuju tauhid, dari perbuatan fasik menuju kebaikan dan dari kekufuran menuju Iman-Islam.
Ketiga, muncul praktik di kalangan perumahan untuk melakukan tirakatan. Tirakatan dilakukan di tingkat RT-RT dengan kegiatan doa bersama, ceramah, makan bersama dan sambung rasa. Nuansa silaturahmi dan solidaritas sosial lebih mengemuka dalam tirakatan ini. Terlepas dari variasi pemaknaan tersebut 1 Suro dalam tradisi Islam, Jawa dan Jawa yang terislamkan menekankan kepada penguatan ruhani, pendekatan diri kepada kekuatan supranatural dan pembangunan solidaritas sosial. Peringatan 1 Suro memiliki makna sakral, yaitu penguatan spiritualitas dan ikatan sosial. Berbeda halnya dengan peringatan tahun baru Masehi, datangnya tahun baru disambut dengan gegap gempita dan kegembiraan. Datangnya tahun baru Masehi menjadi harapan baru dan dirayakan dengan suka cita hingga pesta.
Kemudian, semangat 1 Suro merupakan wahana untuk penghidupan nilai-nilai. Pertama, ada nilai eling (atau ingat) dan waspada. Tat twam asi (pada dirinya ada saya), yaitu jiwa manusia dan semesta itu berhubungan dan bersambung. Jika alam sedang marah, boleh jadi manusia menuju arah yang salah sehingga harus introspeksi diri, tutur Pak Ahwan Fanani.
Dalam agama introspeksi itu disebut disebut muhasabah atau menghitung-hitung sendiri baik-buruk perbuatan sendiri. Manusia dikaruniai akal untuk membedakan benar dan salah dan diberi wahyu untuk membedakan antara cahaya dan kegelapan, akhlak dan perbuatan.
Kedua, sumarah dan sumeleh atau meletakkan perasaan kuasa pada diri sendiri dan bergantung pada kuasa Allah. Kata Islam berarti pula sumarah, pasrah, namun bukan pasrah yang fatalistik. Pasrah sebagai kesadaran akan keterbatasan manusia sehingga membutuhkan campur tangan-Nya. Akhir dari sumeleh itu adalah kebangkitan dan optimisme untuk berusaha.
Ketiga, pepatah Jawa mengatakan sabar subur (kesabaran membawa pada kesuburan). Dalam kondisi cobaan kesabaran adalah pilihan aman yang membuat orang tidak salah langkah dan panik sampai menabrak batas. Dalam Islam sabar ada tiga macam, yaitu sabar dari musibah, sabar dalam ibadah dan ketaatan, dan sabar untuk tidak melanggar ketentuan syariat.
Jadi, peringatan 1 Suro ini adalah momentum untuk merevitalisasi ajaran-ajaran luhur. Agama ageming aji, bahwa agama adalah pakaian yang mulia untuk kita pakai dan merenung, merasa serta bertindak. Kabudayaan adalah wadah kita mewujudkan keluhuran itu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sehingga manusia punya arah untuk menjalankan peran sebagai hamba Tuhan, sebagai bagian dari alam, sebagai warga masyarakat dan negara dan sebagai individu yang bertindak.
(Wawancara eksklusif bersama Dr. Ahwan Fanani, M.Ag)
Penulis : Aisyah Mumtaz Yusriyah
Redaktur : Ayu Nindika Parastuti
Comments
Post a Comment