Skip to main content

Moderasi Beragama : Pintar Menyikapi Moderasi Dan Islamophobia

 


 

Beda Moderasi dan Modernisasi (pixabay.com)

Masih hangat terdengar, bahwa MUI masih menyerukan untuk memboikot Produk-produk dari negara Prancis. Hal ini dilakukan untuk mendesak presiden Emamanuel Macrron agar mau meminta maaf, terkait pernyataannya bahwa islam adalah agama teroris. Hal ini secara tidak langsung, telah mengangkat kembali isu islamophobia yang telah ada dan tenggelam di negara itu, kembali muncul kembali ke permukaan.

Islamophobia secara sederhana diartikan sebagai ketakutan pada agama islam. Hal ini mulai mencuat ketika terjadi pemanggalan seorang guru, dengan dalih Macron sebagai gerakan islam radikal. Padahal kenyataannya guru tersebut sedang memperjuangkan sebuah kebebasaan berpendapat, yang anehnya di negeri yang mempunyai tiga  prinsip negara, yang salah satunya Liberte (kebebasan).

Dalam menyikapi fenomena itu, bersikap toleransi akankah menjadi cukup bagi masyarakat untuk merespon fenomena tersebut?.  Mengingat terkadang toleransi dimaknai sederhana pula sebagai sikap saling menghargai satu sama lain, termasuk dalam menyelesaikan masalah masing-masing di tiap-tiap agama. Padahal yang menjadi masalah, adalah isu ini merupakan kontruksi sosial, bukan kontruksi agama  karena tidak ada satupun agama yang mengajarkan kekerasan.

Toleransi dibutuhkan sebab untuk dapat merubuhkan sekat-sekat perbedaan, kita harus bisa menerima kelompok lain atau agama lain sebagai suatu kesatuan. Termasuk pada isu yang sedang berkembang saat ini, reaksi kita akan menuntun pada  posisi dimana kita akan berada. Dalam arti yang lain, toleransi kadang menggunakan kata moderasi beragama. 

Moderasi beragama lebih mengarah pada kata Moderation atau menurut bahasa KH. Quraish syihab sebagai tawasuth atau pertengahan. Dalam arti bahwa, menempatkan diri di tengah-tengah tidak condong ke arah kiri, juga condong ke arah kanan. Sehingga diharapkan reaksi kita dalam menilai sesuatu dapat lebih seimbang dan pintar dalam menempatkan diri.

Hal yang menarik adalah seringkali kata moderasi diartikan bagi sebagian orang dianggap berasal dari kata moderna (yunani) atau modern yang bermakna saat ini. Kata modern seringkali identik dengan kegiatan yang berupa kegiatan luring (offline) menjadi kegiatan daring (online) digitalisasi atau berbau teknologi. Sehingga kata moderasi maknanya sedikit kabur dengan kata modernisasi, meskipun tidak menutup kemungkina n untuk proses moderasi kitapun butuh namanya modernisasi sebagai wadah aspirasi.

Berbeda  dengan islamophobia, yang lebih condong ke arah kiri melihat agama islam, sebagai agama yang penuh kekerasan, kejahatan , dan seterusnya yang secara tidak langsung membawa sebuah ketimpangan. Ketimpangan ini akan berbahaya jika terus menerus  di narasikan, selain bisa menimbulkan perpecahan juga  mendiskreditkan fakta dan realita. Sehingga ketakutan yang disebarkan atas nama agama islam, harus dihentikan dengan tetap mengambil narasi dan sikap yang  tentunya seimbang di tengah-tengah untuk dapat menuju pada sebuah toleransi.

Pada akhirnya, moderasi beragama tidak akan tercipta jika narasi dan sikap yang diambil belum seimbang dan masih berat sebelah seperti halnya narasi islamophobia yang kini masih berlangsung dan diperjuangkan MUI. Mengutip kisah nabi Ibrahim, saat melihat nabi ibrahim dibakar, semut dan cicak saling bersikap berbeda. cicak meniup bara api, sedangkan semut mengambil air, ditertwakan cicak, kata cicak : "semut, dengan tubuhmu yang kecil kamu tidak akan bisa memadamkan api", jawab semut :"mungkin memang benar aku tidak bisa memadamkan api, tapi dengan aku membawa air aku menegaskan posisi kita berada dimana", semoga pembaca dapat memposisikan diri dengan lebih pintar dan bijaksana.


Penulis : Inas Ghilda

Comments

Popular posts from this blog

Fenomena Bahasa Campur-Campur ala “Anak Jaksel”

Gambar 1.1. Contoh meme yang membahas karakteristik “anak Jaksel”. Belakangan ini media sosial seperti Twitter dan Instagram ramai menyinggung fenomena tentang bentuk komunikasi yang terkenal kerap menyisipkan bahasa Inggris di dalam percakapan bahasa Indonesia. Cara bicara tersebut dianggap sebagai gaya bahasa anak-anak yang tinggal di Jakarta Selatan atau biasa disebut “a nak Jaksel ” . Kata yang umum dipakai antara lain adalah which is (yang), literally (secara harfiah), at least (minimal), even (bahkan), dan lain-lain. Gaya bahasa tersebut pun makin populer karena banyak selebrit as , pegiat Twitter, pegiat Instagram, dan pegiat Youtube atau video bloger juga menggunakan gaya bahasa tersebut dalam konten-konten yang mereka buat, sehingga makin marak diperbincangkan di kalangan warganet , yakni seseorang yang aktif mengakses internet, khususnya media sosial dalam kesehariannya. Mengutip tulisan tirto.id berjudul Gaya Bahasa ala “ A nak Jaksel” di Kalangan Pejabat

Kecewa UKT Mahal, MABA FISIP Gelar Unjuk Rasa di Depan WR 3

      http://www.lpmreference.com Hari terakhir PBAK (Pengenalan Budaya Akademik Kemahasiswaan) menjadi momentum Mahasiswa baru (Maba) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) untuk unjuk rasa terkait mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Realisasi Program Ma'had tepat di depan Wakil Rektor 3, Minggu 6 Agustus 2023. Aksi yang bertempat di depan Land Mark Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang tersebut di latar belakangi atas ketidakkepuasan MABA FISIP tentang UKT yang begitu mahal, UKT yang tidak tepat sasaran dan Realisasi Program Ma'had yang masih jauh dari kata memuaskan untuk para MABA. Massa Aksi membentangkan spanduk yang bertuliskan "Tolak Komersialisasi Pendidikan, Tolong Kami", "Regulasi Ma'had ugal-ugalan pelan-pelan pak Rektor". Aksi yang berlangsung pada pukul 17.20 WIB, secara kebetulan tepat berada di depan Wakil Rektor 3 yaitu  Achmad Arief Budiman dan disaksikan oleh nya secara langsung. "Mari kita kawal bersama adek-adek

Kampus UIN Walisongo disebut Anti Kritik, Begini Tanggapan Mahasiswa Baru Sosiologi 2023

      http://www.lpmreference.com Kampus UIN Walisongo Semarang disebut anti kritik, hal ini diungkapkan  mahasiswa baru Sosiologi angkatan 2023. Baru-baru ini, pada pelaksanaan hari pertama PBAK terpantau ada spanduk yang terpasang di sekitar gedung FISIP UIN Walisongo Semarang diturunkan oleh pihak kampus. Spanduk tersebut berisi kritik terhadap kebijakan kampus seperti isu UKT, isu ma'had, komersialisasi pendidikan dan sebagainya.  "Bahwa pihak kampus telah membatasi ruang kebebasan ekspresi untuk mahasiswa menyuarakan suaranya." Padahal kampus seharusnya menjadi tempat pendidikan yang merdeka bagi para Mahasiswa, " ungkap Kia Mahasiswa Baru Sosiologi 2023.  Menurut Kia, bahwa adanya sebuah kritik justru akan membuat kampus menjadi lebih baik. Bukan malah dibungkam seperti itu.  Sementara itu, Gibran, Mahasiswa baru Sosiologi 2023 mengatakan bahwa isu ma'had merupakan hal yang paling krusial dan patut kita kawal bersama-sama. Namun tidak pernah  mendapatkan pe