Skip to main content

“Papua: Mengungkap Sisi Gelap dan Akar Persoalan”

Penari Yosim Pancar di Kabupaten Sorong.Sumber : www.dogiyai.papua.us

Beberapa waktu lalu, khalayak ramai memperbincangkan “kartu kuning” yang diacungkan oleh ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI), Zaadit Taqwa pada saat Presiden Joko Widodo menghadiri acara Dies Natalis UI ke-68. Hal tersebut Zaadit lakukan karena merasa bahwa kinerja Jokowi saat ini belum optimal, terutama mengenai permasalahan di Papua terkait isu 61 anak Kabupaten Asmat, Provinsi Papua yang meninggal akibat wabah penyakit dan gizi buruk.

Ironis, pulau paling timur Indonesia yang terkenal akan keindahan dan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) seperti gunung emas yang ada di Timika Papua, keanekaragaman flora dan fauna, serta keanekaragaman hayati, nyatanya juga dihiasi oleh permasalahan yang kompleks.

Dibalik segudang kekayaan SDA di Papua, ternyata tersimpan berbagai sisi gelap. Gelap disini tidak menyinggung warga Papua sebagai ras Melanesia-ras yang dicirikan berkulit gelap- namun sisi negatif dalam realita sosial. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), secara umum ada empat akar masalah Papua.

 Pertama, masalah sejarah dan status politik integrasi Papua Indonesia. Kedua, Operasi militer berlangsung sejak 1965 hingga kini, membuat masyarakat Papua memiliki catatan panjang mengenai kekerasan negara dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Ketiga, stigma sebagai orang yang termarjinalkan, dengan adanya migrasi, pembangunan, dan lain-lain. Keempat, kegagalan membangun Papua, ukurannya sederhana saja, yaitu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat.

Hal ini disampaikan oleh Manajer Yayasan Bina Teruna Indonesia Bumi Cenderawasih (Binterbunsih) Semarang, Robert Manaku dalam acara Dialog antar Etnis bertema “Pemuda Indonesia Melawan Gerakan Separatisme demi Keutuhan NKRI” yang diadakan DPD Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Semarang tanggal 2 Februari 2018 di Gedung Juang 45 Semarang.

Menurut Robert, Papua selalu kalah dalam hal apapun. Dari segi ekonomi, warga Papua kalah dengan pengusaha-pengusaha besar, warga juga tidak dilibatkan dalam setiap pemanfaatan SDA maupun rencana pembangunan. Perspektif pemerintah tentang isu separatis yang disuarakan masyarakat Papua membuat pemerintah menyikapinya dengan menerapkan pendekatan keamanan (security approach).

Dari segi hukum dan HAM, perlawanan terhadap pemerintah oleh warga dianggap separatis sehingga aparat keamanan melakukan operasi militer yang berakibat pada kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan kepada warga.

Pembunuhan kilat (extrajudicial execution/killing of summary), penyiksaan (torture), penangkapan/penahanan sewenang-wenang (arbitrary arrest), penghilangan paksa, pelecehan seksual dan pemerkosaan bahkan pemindahan paksa. Rentetan kasus tersebut merupakan hal tabu untuk diungkap, namun menjadi trauma yang mendalam dan ingatan penderitaan (memorial pasionis) bagi orang Papua.

Stigma separatisme yang berkembang saat ini membuat warga Papua termarjinalkan di atas tanahnya sendiri, “Warga Papua tidak tenang hidup di atas tanahnya sendiri”, ungkap Robert. Pemberontakan yang dilakukan warga Papua sejatinya merupakan upaya melindungi tanah, kultur, bahasa, dan adatnya.

Mereka ingin merdeka, tapi yang dimaksud bukan menjadi sesionisme, yakni kelompok yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Merdeka yang dimaksud yakni dapat hidup lebih baik dan sejahtera.

Jadi, masalah kesejahteraan yang rendah dan pelanggaran HAM di Papua akibat isu separatisme merupakan permasalahan yang masih berlangsung hingga sekarang. Pendekatan dilakukan harus diubah, tekanan dan ancaman yang dilakukan terhadap warga yang hendak menyuarakan aspirasinya harus dihapuskan.

Pemerintah perlu memberikan pengetahuan dan pemberdayaan terhadap warga asli serta penggunaan nilai-nilai kultural dan partisipatif dalam pengambilan keputusan, tidak hanya melibatkan lembaga legislatif setempat sebagai perwakilan rakyat. Keterlibatan warga asli dalam pengambilan keputusan merupakan hal penting.

Pemerintah juga hendaknya cepat menanggapi isu serta bijak menangani dan mengakhiri konflik yang terjadi, sehingga setiap masalah berkepanjangan yang dihadapi dapat segera teratasi dengan baik demi Papua yang lebih adil, damai dan sejahtera.


Penulis: Rizky Agus Harnanto

Editor: Naja

Comments

Popular posts from this blog

Menengok Kembali Sejarah Perkembangan Gawai Dari Abad 19 Sampai Sekarang

Sumber foto: https://www.ngerangkum.com Memasuki abad ke-20 kehidupan manusia mulai disibukkan dengan berbagai macam perubahan yang terjadi secara evolusioner. Perubahan-perubahan tersebut terlihat mencolok pada aspek teknologi. Berbagai pembaruan dan kecanggihan teknologi dihadirkan dalam kehidupan manusia. Perlahan namun pasti, hadirnya teknologi mengubah hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Era saat ini juga bisa disebut dengan era digital, era di mana  aktivitas manusia bergantung pada teknologi. Lalu bagaimana bisa aktivitas manusia bergantung pada teknologi? Bahkan bisa dikatakan manusia tidak bisa lepas dari hal tersebut. Simpel sekali, sebut saja yang paling dekat dengan kehidupan manusia setiap harinya, yaitu gawai. Gawai atau nama lain dari gadget yang kemudian karena kecanggihan dan kepintarannya kita biasa menyebutnya dengan smartphone . Dari waktu ke waktu gawai telah mengalami perkembangan teknologi yang cukup signifikan. Jika dulu gawai hanya sebatas pengguna

Mic UKM-U KSMW Diduga Disabotase Pasca Ungkap Keburukan Birokrasi

LPM REFERENCE— Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas (UKM-U) Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) terjun ke Gedung Serba Guna di Kampus 3 UIN Walisongo Semarang untuk melakukan expo UKM-U (11/08/2024). KSMW menampilkan orasi yang disampaikan oleh Kamil di hadapan mahasiswa baru angkatan 2024. Dalam orasinya, Kamil mengungkapkan fakta-fakta terkait kondisi birokrasi kampus yang dinilainya buruk. "Kalian adalah sapi-sapi perah penghasil UKT," ujar Kamil dalam orasinya. Namun, sesaat setelah pernyataan tersebut, microphone yang digunakan Kamil tiba-tiba mati. Meskipun demikian, Kamil tetap melanjutkan orasinya dan kembali menjelaskan mengenai UKM-U KSMW. Ketika Kamil menyebut istilah "UIN Komersil," microphone yang digunakan kembali mati. Kejadian ini memunculkan kecurigaan di kalangan peserta, terutama karena sebelumnya UKM-U Kopma yang juga menyampaikan presentasi tidak mengalami kendala teknis apapun. Bahkan, ketika KSMW mencoba menggunakan tiga microphone yang b

Fenomena Bahasa Campur-Campur ala “Anak Jaksel”

Gambar 1.1. Contoh meme yang membahas karakteristik “anak Jaksel”. Belakangan ini media sosial seperti Twitter dan Instagram ramai menyinggung fenomena tentang bentuk komunikasi yang terkenal kerap menyisipkan bahasa Inggris di dalam percakapan bahasa Indonesia. Cara bicara tersebut dianggap sebagai gaya bahasa anak-anak yang tinggal di Jakarta Selatan atau biasa disebut “a nak Jaksel ” . Kata yang umum dipakai antara lain adalah which is (yang), literally (secara harfiah), at least (minimal), even (bahkan), dan lain-lain. Gaya bahasa tersebut pun makin populer karena banyak selebrit as , pegiat Twitter, pegiat Instagram, dan pegiat Youtube atau video bloger juga menggunakan gaya bahasa tersebut dalam konten-konten yang mereka buat, sehingga makin marak diperbincangkan di kalangan warganet , yakni seseorang yang aktif mengakses internet, khususnya media sosial dalam kesehariannya. Mengutip tulisan tirto.id berjudul Gaya Bahasa ala “ A nak Jaksel” di Kalangan Pejabat